Panduan Kata Kerja Taksonomi Bloom bagi Guru Sekolah Dasar
Senja di ruang kelas tampak tenang saat Bu Sari, guru kelas 4 di Yogyakarta, menatap lembar RPP (sekarang lebih dikenal sebagai Modul Ajar) barunya. Di sana tertulis tujuan pembelajaran: “Siswa memahami keanekaragaman hewan”. Namun di benaknya muncul pertanyaan: bagaimana cara mengukur apakah anak-anak benar-benar memahami konsep ini? Bagai mencium wangi teh tanpa ada rasa, kata “memahami” terasa samar tak terukur. Ia teringat pelatihan pendidikan dulu: sebuah piramida berlabel Bloom's Taxonomy dengan kata kerja seperti “mengingat”, “menerapkan”, “menganalisis”. Kata-kata itu seharusnya membantu guru merumuskan tujuan yang jelas dan terukur. Namun, kini Bu Sari mulai meragukan, benarkah sumber yang ia gunakan sudah tepat? Ia lalu membaca jurnal riset dari barat yang membeberkan bahwa kenyataannya daftar kata kerja tersebut bahkan berbeda-beda antara satu institusi dengan institusi lain.
Masalah di Balik Taksonomi Bloom: Sebuah Sorotan Akademik
Taksonomi Bloom telah menjadi kerangka umum dalam dunia pendidikan untuk mengorganisasi tujuan belajar. Di Inggris, misalnya, taksonomi ini “sangat umum” dipakai oleh universitas sebagai dasar pengajaran dan penilaian, di mana Learning Outcomes disusun dengan daftar kata kerja yang dianjurkan untuk setiap tingkatan taksonomi. Newton, Da Silva, dan Peters (2020) tertarik menelusuri fenomena ini: mereka mengumpulkan 47 daftar kata kerja dari 35 universitas dan buku panduan pengajaran di Inggris. Hasilnya cukup mengejutkan: “sangat sedikit kesepakatan” antar-daftar tersebut. Artinya, kata kerja yang disebutkan untuk satu tingkat taksonomi pada daftar ini bisa muncul di tingkat yang lain di daftar berbeda. Bahkan, sebagian besar daftar itu tidak menyertakan penjelasan atau bukti sumber asal usul kata-kata kerjanya.
Sebagai jawaban, peneliti ini menyusun sebuah “daftar utama” (master list) kata kerja berdasarkan konsensus mayoritas dari analisis tersebut, serta daftar kata kerja yang sebaiknya dihindari. Kedua daftar ini diharapkan berguna bagi siapa saja yang merancang tujuan pembelajaran dengan Taksonomi Bloom. Namun di balik itu, mereka juga menyoroti pertanyaan besar: seberapa kuatkah bukti ilmiah yang mendasari praktek umum penggunaan taksonomi ini, baik di Inggris maupun dunia pendidikan umum.
Apa yang Ditemukan? Daftar Kata Kerja yang Membingungkan
Penelitian Newton dkk. mengungkap beberapa hasil kunci:
-
Kurangnya Konsistensi: Dari 47 daftar kata kerja yang diteliti, ditemukan “sangat sedikit kesepakatan” antar-daftar tersebut. Artinya, setiap universitas atau buku bisa punya daftar berbeda. Akibatnya, guru satu sekolah mungkin saja menggunakan kata kerja yang sama dengan makna berbeda dibanding guru di sekolah lain.
-
Daftar Master dan Verba yang Di-avoid: Berdasar konsensus sederhana, para peneliti menyusun master list kata kerja yang umum digunakan (dikelompokkan menurut tingkatan taksonomi), serta daftar kata kerja yang sebaiknya dihindari, karena terlalu abstrak atau membingungkan. Daftar-daftar ini dimaksudkan membantu penulisan tujuan belajar yang lebih jelas.
-
Kebingungan Kata Kerja Umum: Beberapa kata kerja operasional ternyata muncul di semua tingkatan taksonomi dalam banyak daftar. Misalnya kata “pilih” (select) dan “hubungkan” (relate) tercatat muncul di keenam tingkat taksonomi yang dianalisis, baik di situs UK maupun US. Ini menegaskan kebingungan mengenai kelas kata tersebut: apakah dipakai untuk mengevaluasi, menganalisis, atau kegiatan dasar? Kondisi serupa terjadi pada kata “mengerti” dan “tahu” (understand, know). Kata-kata ini, meski sejak awal dianggap problematic karena tidak terukur, nyatanya masih direkomendasikan untuk digunakan oleh beberapa daftar. Bahkan, ada universitas yang dalam dokumen daftar kata kerja yang harus dihindari, justru menganjurkan kata kerja yang sama untuk dipakai pada taksonomi mereka.
-
Tidak Ada Satu Format Tunggal: Seperti disimpulkan peneliti, penulisan Learning Outcomes berdasarkan Taksonomi Bloom memang biasa ditemukan di banyak institusi (UK maupun internasional), namun “tidak ada satu format yang mewakili ‘Taksonomi Bloom’” secara umum. Dengan kata lain, tata cara dan istilah yang dipakai untuk satu level taksonomi bisa berbeda-beda. Ini berarti guru-guru di lapangan mungkin sering menggunakan acuan yang tidak sinkron satu sama lain.
Dari temuan-temuan di atas, jelas bahwa pelabelan tingkat kognitif dengan kata kerja spesifik selama ini kurang konsisten secara praktis. Variasi ini mendorong para peneliti untuk mengusulkan agar tata cara menulis tujuan belajar (yang selama ini menggunakan taksonomi Bloom) diperkuat dengan referensi bukti ilmiah dan konsensus yang lebih kokoh.
Apa Artinya Bagi Guru Indonesia?
Temuan dari studi Newton dkk. mengandung pelajaran penting bagi guru dan penyusun kurikulum di jenjang dasar kita. Meskipun penelitian ini dilakukan di konteks perguruan tinggi Inggris, inti pesan “gunakan kata kerja yang tepat” sangat relevan dengan RPP dan tujuan pembelajaran SD di Indonesia. Beberapa implikasi praktisnya:
-
Gunakan Kata Kerja yang Terukur: Hindari kata kerja abstrak seperti “mengerti” atau “mengetahui” tanpa indikator jelas. Misalnya, daripada menulis “siswa mengerti habitat hewan,” lebih baik gunakan kata konkrit seperti “menyebutkan”, “mengamati”, atau “mengelompokkan”. Buat tujuan pembelajaran menjadi tindakan nyata yang dapat diamati murid (contoh: “siswa dapat menjelaskan fungsi daun melalui demonstrasi praktis”).
-
Sinkronisasi antara Tujuan dan Penilaian: Sesuaikan soal dan tugas dengan tingkatan Bloom yang dituju. Jika tujuan menuntut analisis, pastikan tugas evaluasi juga mengharuskan siswa membandingkan atau mengevaluasi. Hal ini sesuai dengan prinsip constructive alignment dalam literatur bahwa tujuan, materi, dan penilaian harus selaras.
-
Standarisasi Internal Sekolah: Ajak rekan guru berdiskusi memilih kata kerja operasional yang disepakati bersama. Dengan demikian, meski sekadar di tingkat sekolah atau kecamatan, dapat dihasilkan standar penggunaan kata yang konsisten. Diskusi ini penting mengingat riset Newton menemukan banyak daftar berbeda tanpa konsensus. Pengalaman kolektif semacam itu dapat memperkaya praktik pembelajaran kita.
-
Manfaatkan Daftar Kata Kerja dari Penelitian: Meskipun daftar master milik Newton dkk. berfokus pada perguruan tinggi, guru SD bisa mengadaptasinya dengan konteks lokal. Misalnya, memasukkan kata kerja sesuai materi SD (seperti “mengamati”, “menjelaskan”, “membandingkan”). Sedangkan daftar kata kerja yang dihindari dapat menjadi panduan untuk mengoreksi RPP agar lebih konkret.
Penelitian ini mendorong para guru dan calon pendidik di Indonesia untuk lebih kritis dan reflektif saat menulis tujuan pembelajaran. Bukan hanya mengikuti template, tetapi mempertimbangkan apakah kata-kata tersebut benar-benar dapat menunjukkan proses belajar siswa.
Saat “Memahami” Tak Lagi Cukup
Bagaimana penerapan temuan ini dalam rutinitas mengajar sehari-hari di Indonesia? Beberapa pertanyaan terbuka mengemuka:
-
Apakah kita sudah cukup berbasis bukti? Taksonomi Bloom sendiri dikembangkan era 1956 dan 2002 tanpa didasari riset kuat tentang cara belajar. Newton cs. bahkan menyarankan agar klasifikasi hasil belajar sebaiknya berdasarkan ilmu pembelajaran mutakhir (psychology, neurosains, dll.). Artinya, sudah saatnya kita meninjau ulang kerangka teori lama dengan hasil riset terbaru. Mungkinkah kelak akan lahir versi baru taksonomi yang lebih sesuai perkembangan pendidikan abad 21?
-
Bagaimana membuat taksonomi lebih kontekstual? Anak-anak di SD belajar melalui kegiatan konkret, permainan, dan pengalaman sehari-hari. Apakah rumus kata kerja generik yang sama di semua mata pelajaran sudah tepat? Mungkin kita perlu mengembangkan daftar kata kerja operasional yang disesuaikan dengan budaya dan gaya belajar anak Indonesia. Contohnya, dalam pengajaran literasi, alih-alih hanya “membaca” (level dasar), bisa ditambahkan kegiatan “menyusun cerita” atau “berdiskusi cerita” (melibatkan analisis dan evaluasi).
-
Bagaimana peran guru dalam mengarahkan siswa? Kata kerja yang baik membantu memandu guru menilai keberhasilan proses belajar. Namun pada akhirnya, yang terpenting adalah pengalaman belajar siswa itu sendiri. Apakah kita sudah memberikan ruang bagi kreativitas dan pemikiran mendalam siswa, atau masih terpaku pada daftar istilah? Penelitian ini mengajak guru untuk bertanya: apakah tujuan kita sekadar memenuhi istilah taksonomi, atau benar-benar meningkatkan kualitas belajar murid?
Melalui refleksi ini, harapannya guru dan praktisi pendidikan di Indonesia tergerak untuk membangun diskusi lebih lanjut. Mungkin mulai dari berbagi pengalaman di komunitas, atau menulis refleksi sendiri tentang pemakaian kata kerja dalam RPP. Yang jelas, tiap guru memiliki peran besar mengadaptasi temuan global ini menjadi praktik lokal.
Menuju Pembelajaran yang Bermakna
Akhirnya, bagi Bu Sari dan rekan guru lainnya, artikel Newton dkk. (2020) menjadi cermin bahwa kata-kata dalam tujuan pembelajaran tidak boleh dianggap enteng. Taksonomi Bloom tetap berharga sebagai panduan, tetapi prakteknya perlu diselaraskan dengan kebutuhan nyata di kelas dasar. Dengan menyusun tujuan yang lebih konkret dan terukur, guru tak hanya memenuhi tuntutan administrasi, tetapi benar-benar membantu murid belajar dengan bermakna. Temuan riset ini mengingatkan kita: apapun kerangka teorinya, proses pendidikan harus selalu berakar pada bukti dan pengalaman anak. Mari kita pakai daftar kata kerja yang tepat sebagai pijakan [bukan sebagai dogma kaku] agar pendidikan dasar di Indonesia terus “berbunga”, tumbuh subur dari kreativitas guru dan semangat belajar murid.
Sumber: Newton, Da Silva, & Peters, A Pragmatic Master List of Action Verbs for Bloom’s Taxonomy (2020).
Posting Komentar