ZMedia Purwodadi

Takaran untuk Sebuah Pikiran

Table of Contents

Di sebuah ruang kelas yang lengang, seorang anak menatap papan tulis seolah-olah ia tengah menatap langit yang asing. Di matanya, tak ada angka yang berbicara, tak ada huruf yang bernyanyi. Hanya keraguan, sunyi, dan waktu yang berjalan terlalu cepat. Di sudut lain, seorang guru menghela napas pelan, mengangkat kapur, dan kembali menulis. Seperti seorang pelaut yang tak tahu pasti apakah bintang-bintang di langit adalah petunjuk atau hanya ilusi yang mengambang.

Benjamin S. Bloom pernah menyusun taksonomi. Sebuah cara menakar kemampuan manusia, menyusun kompetensi ke dalam tangga-tangga yang tampak rapi: dari pengetahuan menuju pemahaman, lalu aplikasi, analisis, sintesis, dan akhirnya evaluasi. Tapi saya membayangkan Bloom bukan sedang menyusun daftar, melainkan sedang menganyam puisi dalam bentuk sistem. Karena pada intinya, ia berbicara tentang kemungkinan: tentang bagaimana pikiran bisa tumbuh, pelan-pelan, seperti pohon yang tak memilih tanah tempat ia ditanam.

Pendidikan, bagi Bloom, bukan sekadar soal hafalan. Ia adalah upaya untuk mengubah struktur internal seseorang. Seperti membentuk patung dari tanah liat yang hidup. Dan dalam upaya itu, ia mengenalkan kita pada tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Tiga ruang yang sering kita lupakan, seolah pendidikan hanya berlangsung di kepala, bukan juga di hati dan tangan. Padahal mungkin seorang anak belajar mencintai dunia justru saat ia menyentuh tanah, mencium aroma kayu, atau mendengar dongeng di pelukan ibunya.


Saya membayangkan Bloom duduk di ruang perpustakaan, dikelilingi oleh lembar-lembar rencana pelajaran. Tapi bukan itu yang ia cari. Ia mencari cara agar kita bisa mendidik tanpa kehilangan keindahan. Ia percaya bahwa pengajaran yang baik bukan soal menyampaikan materi, tapi menyusun pengalaman. Ia tak hendak menggantikan guru dengan mesin, melainkan ingin membantu guru mengenali misteri yang tersembunyi dalam setiap anak.

Di dunia yang tergesa-gesa, tak banyak yang sempat berpikir seperti itu. Sekolah menjadi pabrik nilai. Anak-anak diuji seolah-olah mereka adalah mesin yang harus lulus uji kualitas. Tapi Bloom percaya, evaluasi bukanlah palu godam. Ia adalah cermin. Ia adalah cara melihat sejauh mana kita berhasil menyentuh ranah terdalam seorang murid: bukan hanya pikirannya, tapi juga jiwanya.

Saya teringat pada seorang anak kecil yang gemar merakit robot dari potongan kayu dan kabel bekas. Ia tak pernah bisa menjawab soal matematika dengan benar, tapi setiap kali ia memperagakan ciptaannya, matanya berbinar. Seorang guru bijak mungkin akan bertanya: pada taksonomi Bloom, di mana letak kebinaran itu? Apakah itu "aplikasi"? "sintesis"? Atau sesuatu yang tak bisa diukur oleh kata kerja operasional?

Itulah kelembutan tersembunyi dari Bloom. Ia tidak membekukan manusia dalam kategori, tapi memberi kita bahasa untuk memahami proses yang tak kasatmata. Taksonominya bukan pagar, melainkan jembatan. Sebuah cara menyeberang dari dunia yang kita pahami ke dunia yang belum kita mengerti. Karena pada akhirnya, mendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi menciptakan perubahan.

Bloom juga berbicara tentang mastery learning, atau pembelajaran tuntas. Ia percaya bahwa hampir semua anak bisa belajar dengan baik, asal waktu dan dukungan disesuaikan. Seperti tanaman yang akan tumbuh jika mendapat cahaya dan air yang cukup. Gagasan ini begitu radikal karena ia menolak ide bahwa kecerdasan adalah takdir. Ia berkata: setiap anak punya potensi, hanya butuh waktu yang tepat, cara yang sesuai, dan hati yang sabar.

Namun, dunia sering kali kejam terhadap waktu. Sistem menuntut standar yang seragam, jadwal yang tak bisa ditawar. Anak-anak yang lambat belajar dianggap tertinggal. Padahal mungkin, mereka hanya sedang menunggu musimnya sendiri. Seperti bunga yang tak bisa dipaksa mekar lebih cepat, atau rembulan yang tak bisa diminta bersinar di siang hari.

Esai ini mungkin tak akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana mendidik dengan benar. Tapi Bloom mengajarkan satu hal: bahwa dalam setiap murid, ada dunia yang sedang tumbuh. Dan dunia itu tak bisa direduksi menjadi angka, tak bisa dipadatkan menjadi laporan.

Barangkali itulah yang membuat kita tetap mengajar, meski terkadang lelah. Karena kita percaya, di balik setiap mata yang kosong, ada cahaya yang menunggu untuk dinyalakan. Bloom hanya memberi kita peta. Perjalanan tetaplah milik kita.

Dan pada akhirnya, seperti kata penyair, mendidik adalah pekerjaan cinta. Sebuah cinta yang pelan, tak riuh, tapi terus tumbuh. Meski tak selalu tampak.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day

Posting Komentar