ZMedia Purwodadi

Yang Terlupakan di Antara Pagi dan Dapur

Table of Contents

Di sebuah sudut Nigeria utara, pagi datang seperti biasa, tanpa tanda, tanpa upacara. Matahari menyibak gelap, dan seorang anak perempuan menggenggam baki berisi air sachet. Ia melangkah cepat, bukan menuju sekolah, melainkan ke pasar, ke jalanan yang memanggilnya lebih dulu daripada buku-buku yang belum sempat dikenalnya.

Ada yang pelan-pelan terhapus dari peta kehidupan kita. Bukan gunung, bukan sungai. Tapi harapan. Harapan seorang anak perempuan untuk duduk di bangku kayu, menulis namanya sendiri, dan membacakan impiannya di depan kelas yang mungkin terlalu sempit, namun cukup luas untuk membesarkan dunia.

Di masyarakat yang terbiasa menghitung untung dengan lelaki dan beban dengan perempuan, pendidikan menjadi barang mewah yang hanya ditaruh di rak tinggi, di luar jangkauan tangan-tangan mungil yang sibuk mencuci piring. Di sini, kata "sekolah" seperti jendela yang tertutup rapat, dan anak perempuan berdiri di luar, menempelkan dahinya pada kaca yang dingin.


Kita sering berbicara tentang masa depan, tentang pembangunan, tentang negara yang maju. Tapi siapa yang menentukan siapa yang boleh melangkah ke masa depan? Di jalan-jalan berdebu Kastina, yang tampak jelas adalah pilihan yang dibentuk oleh kemiskinan, oleh kebiasaan lama yang menancap seperti paku di pintu rumah: laki-laki belajar, perempuan membantu. Laki-laki pergi, perempuan tinggal.

Di sebuah diskusi kecil, seorang gadis berumur sembilan tahun berkata pelan, "Kalau kami sekolah, kami bisa berguna bagi masyarakat." Kata-kata sederhana yang seolah-olah ditulis dengan kapur di udara, mudah terhapus, mudah dilupakan. Ia tahu, meski mungkin tak semua orang ingin mendengarnya.

Di tempat yang lain, seorang anak perempuan dengan mata basah mengaku, "Pagi-pagi kami disuruh menjual barang. Saya tidak suka, tapi apa pilihan saya?" Suara kecil yang tenggelam dalam hiruk-pikuk pasar, barangkali tidak pernah sampai ke meja pengambil keputusan.

Ada ironi yang terus terulang: kita membangun sekolah, tapi tidak membangun keyakinan bahwa perempuan berhak masuk ke dalamnya. Kita bicara tentang hak, tapi membiarkannya terlepas begitu saja ketika bertemu dengan adat. Kadang, dengan tenang, kita mengucapkan pepatah lama: "Perempuan milik dapur." Kalimat yang terdengar seperti pintu yang ditutup perlahan, tapi mengunci begitu keras.

Namun, seperti embun yang tetap jatuh meski dipijak, harapan itu tidak mati. Ia hadir dalam bisikan: beasiswa kecil, ruang belajar yang ramah, kampanye yang mengetuk pintu rumah, ajakan untuk membayangkan bahwa mungkin, suatu hari nanti, perempuan pun boleh berjalan sejauh laki-laki. Bahwa mungkin, buku bisa menjadi jendela yang dibuka oleh tangan siapa pun.

Tapi perubahan tidak pernah lahir dari keputusan pemerintah semata. Ia lahir dari pergeseran di dalam hati: di ruang-ruang keluarga, di meja makan, di bisikan ibu yang suatu pagi memutuskan bahwa anak perempuannya harus pergi sekolah meski ayahnya mengernyit. Ia lahir dalam keberanian seorang gadis kecil yang melangkah keluar rumah, membawa buku, bukan baki air sachet.

Di balik data yang dingin, ada cerita yang hangat. Tentang bagaimana seorang anak perempuan, dengan seragam lusuh, berlari ke sekolah tanpa sepatu, bukan karena disuruh, tetapi karena ia ingin tahu apa yang tertulis di papan tulis. Tentang seorang ibu yang diam-diam menjual kainnya agar anak perempuannya bisa membeli buku. Tentang seorang guru yang menghapus stereotip, bukan hanya menulis angka.

Perempuan yang terpinggirkan itu, pada akhirnya, adalah cermin bagi kita: seberapa dalam kita percaya bahwa setiap manusia, tanpa kecuali, berhak membuka pintu masa depan.

Barangkali, perubahan selalu dimulai dari hal yang sederhana: sebuah langkah kecil di pagi hari, menuju sekolah, bukan ke pasar. Sebuah keputusan yang perlahan tapi pasti, mengikis dinding-dinding yang selama ini kita biarkan berdiri.

Dan mungkin, pada suatu pagi yang lain, anak perempuan itu tidak lagi harus berdiri di luar jendela.


Sumber baca:

Posting Komentar