Yang Tak Terlihat di Kelas Itu Nyata
Di suatu sudut kelas yang senyap, seorang anak berbicara pelan pada bangku kosong di sebelahnya. Tak ada yang duduk di sana. Tapi baginya, kursi itu tidak kosong. Ada yang mengisi, ada yang menyimak, mungkin bahkan memberi saran tentang soal matematika yang rumit atau dongeng yang belum rampung ditulis. Bagi anak itu, dunia tak berhenti di batas pandangan orang dewasa.
Kita menyebut mereka “teman imajiner”, seringkali dengan senyum geli atau anggukan simpatik. Seolah-olah mereka hanya bagian dari masa kecil yang akan usang dan menguap seperti uap teh di pagi hari. Tapi siapa yang berhak menentukan batas antara nyata dan khayal?
Dulu, dalam sebuah kelas di Wales, seorang anak bernama John berbicara tentang dua sahabatnya: Steve dan Clara. Mereka berumur seribu tahun. Steve bisa berubah menjadi angka ketika John bingung dalam pelajaran matematika. Clara mengenakan jubah Mesir kuno saat pelajaran sejarah. Keduanya tidak ada dalam daftar hadir, tetapi mereka hadir dalam seluruh makna kehadiran. Apakah guru John pernah tahu? Mungkin tidak. Tapi kehadiran mereka membantu John mengerti dunia, melalui lensa yang hanya bisa dibentuk oleh keajaiban.
Psikologi perkembangan telah lama mengklasifikasikan teman imajiner sebagai manifestasi dari bermain pura-pura. Tapi dalam bermain, anak tidak sedang berbohong; ia sedang mencoba memahami realitas dengan caranya sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan teman imajiner sering memiliki pemahaman emosi yang lebih tajam, keterampilan bercerita yang lebih kaya, dan kecenderungan imajinasi yang lebih hidup. Mereka berlatih menjadi manusia dengan cara yang lembut dan bebas risiko.
Namun, di luar angka dan grafik, ada sesuatu yang lebih dalam. Teman-teman itu sering kali muncul untuk menyembuhkan luka, menjembatani jarak, atau sekadar menemani dalam kesunyian. Mereka bukan sekadar permainan, tapi pelengkap jiwa.
Di dunia pendidikan yang makin disesaki dengan target capaian, asesmen formatif, dan rubrik kompetensi, di mana tempat bagi yang tak tampak? Apakah ruang kelas hanya untuk yang kasatmata? Atau haruskah kita mulai memikirkan ulang peran imajinasi bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai mitra pembelajaran?
Sastra anak memberi kita petunjuk. Beekle, dalam cerita Dan Santat, adalah teman imajiner yang menunggu seorang anak menciptakannya. Dia tidak diciptakan oleh kebutuhan, tapi oleh harapan. Jacques Papier, tokoh fiksi dalam novel Cuevas, bahkan mengalami krisis eksistensial saat menyadari bahwa dirinya hanya hidup dalam imajinasi seseorang. Tapi bukankah itu juga pertanyaan manusia seumur hidup: apakah kita nyata karena kita ada, atau karena kita dikenali?
Dalam banyak budaya, yang tak terlihat tidak lantas tidak nyata. Di tradisi Māori, dalam kisah-kisah nenek moyang Celtic, bahkan dalam pandangan mistik Jawa, kehadiran yang tidak kasatmata sering kali diterima sebagai bagian dari kehidupan. Kita menyebutnya arwah leluhur, penjaga, atau entitas roh. Lalu, mengapa dalam budaya Barat modern hanya “imajinasi” yang menjadi penjelasan tunggal? Mungkin kita terlalu takut untuk mengakui bahwa ada wilayah-wilayah kehidupan yang tak dapat dipetakan oleh logika.
Bayangkan, jika ruang kelas dibuka bukan hanya untuk tubuh dan suara, tapi juga untuk dunia-dunia kecil yang dibawa setiap anak. Kita bisa mulai dari cerita: sebuah buku, sepotong dongeng, selembar gambar yang dilukis seorang anak tentang temannya yang hanya dia yang bisa lihat. Pertanyaan-pertanyaan pun muncul. Siapa temanmu hari ini? Apa yang dia katakan saat kamu sedih? Bagaimana dia membantumu menulis puisi itu?
Dan para guru, alih-alih membungkam “kebisingan” dari dunia imajiner itu, mulai menyimak. Tidak untuk menghakimi kebenarannya, tapi untuk menghormati nilai emosional dan pedagogis di baliknya.
Akhirnya, mungkin yang perlu kita ajarkan kepada anak-anak bukan hanya cara berpikir kritis, tapi juga cara membayangkan dunia. Karena imajinasi bukan lawan dari kebenaran; ia adalah cara kita membangun kemungkinan. Dalam kemungkinan, harapan tumbuh. Dan siapa tahu, di sela tawa anak-anak yang sedang bermain pura-pura, ada biji-biji kecil kebijaksanaan yang akan tumbuh menjadi pemahaman paling dalam tentang hidup.
Teman imajiner mungkin tidak memiliki nama di daftar murid. Tapi mereka, diam-diam, telah membantu membentuk manusia.
Dan bukankah itu, esensi dari pendidikan?
Posting Komentar