Yang Retak dan Yang Menyatu
Di sebuah sore yang lambat, aku melihat seorang anak menggambar pohon. Garis-garisnya belum tegak, lengkungnya belum luwes, tapi di matanya ada keyakinan. “Ini akan jadi pohon besar,” katanya. Tak ada keraguan. Barangkali memang hanya anak-anak yang bisa begitu percaya, karena mereka belum tahu bahwa di balik setiap bentuk ada sejarah yang panjang; juga luka, juga penyangkalan.
Hegel, dalam bayang-bayang Jerman yang revolusioner dan resah, percaya bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah medan pergulatan roh, Geist, yang terus menubuh dan mewujud, dalam ketegangan dan pengingkaran. Tidak ada kemajuan yang datang dari jalan lurus. Yang ada justru adalah gerak dialektis: tesis, antitesis, sintesis; dan seterusnya, dalam spiral tanpa ujung.
Ia membayangkan pendidikan bukan sekadar proses mentransfer ilmu, tapi jalan manusia untuk mengenali kebebasannya. Dalam sekolah, dan lebih luas, dalam kebudayaan, roh umat manusia menapaki jalan menuju pengenalan diri. Tapi bukan pengenalan yang pasif. Dalam mengenal, ada pergulatan. Anak itu menggambar pohon karena ia sedang menafsir dunia. Dan dalam penafsiran itu, ia mengubah dirinya.
Hegel menyebut ini sebagai “realisasi kebebasan”. Pendidikan, dalam kacamata Hegel, adalah proyek emansipasi: membimbing individu menuju kesadaran bahwa mereka bebas. Tapi bukan bebas sebagai ego yang terlepas dari dunia, melainkan bebas karena mereka menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Subjek tidak otonom dalam kekosongan; ia ada karena ia mengakui dan diakui oleh yang lain.
Ada gema dari ide ini dalam setiap ruang kelas yang memanusiakan muridnya. Ketika guru berhenti menjadi sekadar otoritas dan mulai menjadi bagian dari percakapan. Ketika pertanyaan tidak dijawab, tapi dilempar balik. Ketika keraguan tidak ditekan, tapi disambut sebagai langkah awal dari pemahaman.
Namun Hegel juga tidak romantis. Ia tahu, seperti sejarah, pendidikan juga bisa mencederai. Negara, yang dalam filsafatnya menjadi wadah tertinggi dari kebebasan kolektif, bisa berubah menjadi mesin dominasi. Pendidikan bisa menjadi alat ideologis, menyerap individu ke dalam tatanan yang membekukan, bukan membebaskan.
Di sinilah letak paradoksnya: pendidikan harus membentuk individu yang kritis terhadap struktur yang membentuk mereka. Tapi struktur itu sendiri — sekolah, kurikulum, bahasa — adalah syarat dari kemungkinan berpikir. Bagaimana mungkin kita melampaui sesuatu yang menjadi pijakan awal kita?
Hegel menjawabnya melalui dialektika. Kita tak melampaui dengan melarikan diri, tapi dengan mengolah. Subjek tidak membebaskan diri dengan memisahkan diri, tapi dengan menenggelamkan diri dalam sejarah, dalam institusi, dalam kontradiksi. Dan kemudian, dalam kesadaran, menjadikan itu miliknya.
Aku membayangkan seorang siswa yang menolak pelajaran sejarah karena merasa semuanya sudah usang. Tapi ketika ditanya siapa dirinya, ia menjawab dengan kata-kata yang tak disadarinya adalah warisan dari sejarah yang ditolaknya. Bahasa, nilai, harapan; semua itu bukan miliknya semata, tapi hasil dari ribuan percakapan dan pertarungan yang lahir sebelum ia dilahirkan.
Kita tidak bisa keluar dari sejarah, kata Hegel. Tapi kita bisa membuat sejarah menjadi cermin. Dan dalam cermin itu, kita bisa melihat bukan hanya wajah kita, tapi luka, dan kemungkinan.
Malam itu, aku kembali pada anak yang menggambar pohon. Goresannya masih goyah, tapi ia terus menggambar. Di atas kertas yang kosong, ia sedang menciptakan dunia; dengan segala pengulangan, penghapusan, dan keberanian untuk mencoba lagi. Mungkin itulah pendidikan seperti yang dibayangkan Hegel: sebuah proses panjang dan tak tuntas, di mana manusia, dalam segala kerapuhannya, belajar menjadi utuh. Bukan karena ia tanpa cela, tapi karena ia bersedia menempuh jalan yang retak, untuk menyatu.
Dan di situlah, barangkali, kebebasan menjadi nyata.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar