ZMedia Purwodadi

Tuhan, Anak, dan Serambi Sekolah

Daftar Isi

Di sebuah sore yang gerimis, seorang anak berdiri di bawah tiang gereja yang menjulang, wajahnya menatap langit yang berwarna kelabu seperti abu yang tertinggal dalam dupa. Tak ada yang istimewa dari sosoknya, selain tatapan yang menyimpan pertanyaan purba: mengapa manusia harus belajar?

John Wesley, seorang lelaki kurus dengan semangat yang tak pernah kehabisan nyala, mungkin akan menjawab: karena Tuhan tidak hanya menuntut iman, tetapi juga akal yang tercerahkan. Ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju penyempurnaan, bukan semata untuk dunia ini, tetapi juga bagi dunia yang kekal.

Wesley hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh jurang, antara kaya dan miskin, terpelajar dan buta huruf, berkuasa dan tersisih. Tapi ia memilih membangun jembatan. Ia bukan sekadar pendiri gerakan Metodis, tetapi seorang peziarah dalam medan rohani dan intelektual, meyakini bahwa kasih Tuhan harus diungkapkan lewat pengabdian konkret, salah satunya: sekolah.


Di matanya, pendidikan bukan ruang kosong dengan barisan bangku dan papan tulis, melainkan taman pertobatan yang penuh musik, disiplin, dan doa. Ia mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak miskin di Inggris, bukan untuk mencetak birokrat atau pedagang sukses, tapi untuk membentuk jiwa yang mengenal belas kasih.

Ada satu gagasan yang terasa sangat mengusik dalam pandangan Wesley: bahwa tidak cukup menjadi manusia baik; kita juga harus menjadi manusia berpikir. Ia memeluk prinsip bahwa rasionalitas bukan musuh iman, tapi sekutunya. Maka, ia mengajarkan logika dan klasik, di samping Alkitab dan lagu pujian. Anak-anak diajak membaca dan merenung, agar mereka dapat mengenali suara hati, dan mungkin, mendengar bisikan Tuhan di antara deret kalimat Latin.

Di masa kini, gagasannya terdengar seperti sunyi dalam riuh pasar kompetensi. Tapi justru di sinilah daya pikatnya: Wesley tidak mencari manusia yang hanya “berhasil,” ia mencari manusia yang utuh, yang tidak hanya bisa menghitung laba, tetapi juga mengerti luka.

Wesley memandang bahwa pendidikan sejati adalah tentang pertumbuhan dalam kasih. Ia menolak kekerasan dalam disiplin, menentang hukuman fisik, dan lebih memilih pengajaran yang bersandar pada teladan dan cinta. Seorang anak yang dididik dengan ketulusan, baginya, akan tumbuh menjadi pribadi yang sanggup mengasihi dunia.

Ada sesuatu yang nyaris asing hari ini dalam semangat Wesley: integrasi total antara etika, spiritualitas, dan rasionalitas. Kita telah begitu terbiasa memisahkan urusan iman dari urusan belajar, seolah sekolah adalah pabrik kognisi dan gereja adalah panti rasa. Tapi bagi Wesley, keduanya tak pernah benar-benar terpisah. Pendidikan adalah pelayanan. Dan belajar adalah bentuk ibadah.

Wesley hidup dalam zaman revolusi, sosial, ekonomi, bahkan religius. Tapi di tengah semua itu, ia tetap menaruh harapan pada anak-anak yang duduk di bangku kayu, menyalin ayat, menyanyikan mazmur, dan perlahan memahami makna kasih yang menuntun, bukan memaksa.

Dalam catatan hidupnya, ia menulis: “Pengetahuan yang tidak dilandasi oleh kasih akan menggelembungkan diri.” Maka, sekolah harus menjadi ruang di mana ilmu dan cinta saling menyapa. Di mana seorang guru bukan hanya penyampai pelajaran, tapi peziarah jiwa yang menemani anak menyeberangi jembatan dunia menuju keabadian.

Aku membayangkan kembali anak kecil tadi, masih berdiri di bawah tiang gereja yang basah oleh gerimis. Mungkin di tangannya ada buku doa, atau potongan puisi. Di matanya masih tersisa tanya. Tapi jika ia bertemu gagasan Wesley, ia akan mengerti: bahwa menjadi manusia bukan hanya tentang apa yang kau tahu, tapi juga siapa yang kau kasihi, dan bagaimana kau mencintai dalam terang akal yang dibasuh oleh iman.

Mungkin, dalam tiap ruang kelas yang sunyi, Wesley masih berbisik. Bukan dengan suara, tetapi dengan kehadiran yang tak terlihat, menyentuh meja kayu, buku-buku lusuh, dan jiwa-jiwa muda yang mencari makna. Ia mengingatkan kita, bahwa dalam setiap pelajaran yang diajarkan dengan kasih, Tuhan pun turut belajar bersama kita.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar