ZMedia Purwodadi

Tentang Imajinasi dan Tindakan

Daftar Isi

Suatu pagi yang dingin di bulan April, seorang anak duduk di bawah pohon apel. Ia memandangi langit yang tak biru, menggumamkan pertanyaan sederhana: “Mengapa buah jatuh ke tanah?” Dunia pun berubah sejak itu. Kita menyebutnya Newton. Tapi dalam sunyi pertanyaan seperti itu, barangkali Jerome Bruner mendengar sesuatu yang lain, sebuah bisikan tentang cara manusia membentuk kenyataan, bukan hanya menemuinya.

Bruner tidak memulai dari Newton, tapi dari si anak yang bertanya. Ia percaya bahwa pendidikan bukanlah ladang fakta yang ditanam untuk dituai, melainkan taman imajinasi yang terus-menerus dipupuk agar tumbuh liar namun bermakna. Di matanya, belajar adalah proses menjadi, bukan sekadar tahu.

Ia menolak pandangan bahwa pengetahuan hanya bisa dipindahkan seperti ember diisi air. Baginya, manusia tidak hidup untuk menerima kebenaran yang sudah jadi, melainkan untuk membentuknya, menceritakannya kembali, menyusunnya dengan cara baru. Seperti seniman yang tak puas hanya melukis realitas, tetapi menafsir ulang dunia dengan warna-warna yang belum tentu ada di palet alam.


Dalam dunia Bruner, pendidikan adalah tindakan budaya. Ia lebih mirip kisah, bukan laporan; lebih mirip drama, bukan grafik; lebih mirip perjalanan, bukan peta. Ia menyebutnya narrative mode of knowing, cara kita mengenali dunia lewat cerita, bukan rumus.

Saya teringat seorang guru tua di desa pegunungan. Ia tidak banyak memiliki buku, apalagi teknologi canggih. Tapi ia pandai berkisah. Tentang sungai yang mengalir ke hilir seperti manusia menuju takdir. Tentang bintang yang tersesat di malam gelap, tapi tetap bersinar. Anak-anaknya bukan hanya tahu geografi atau fisika, tapi mereka mengerti makna pulang, arti kesendirian, dan pentingnya bertanya. Guru itu, meski tak kenal Bruner, telah mempraktikkan filsafatnya dengan sangat lembut.

Bruner membedakan dua bentuk memahami: paradigma dan naratif. Yang satu seperti hukum, yang lain seperti cerita. Yang satu menghitung, yang lain merasakan. Ia tidak menolak logika, tapi menyadari bahwa hidup tidak hanya dibangun dari alasan, melainkan juga dari makna. Manusia, kata Bruner, adalah makhluk yang menceritakan dirinya sendiri. Dan pendidikan yang sejati tidak menghapus narasi, tapi menumbuhkannya.

Ia pun menolak determinisme biologi yang membatasi kapasitas anak. Ia percaya bahwa setiap anak bisa memahami segala sesuatu yang kompleks, asal diajarkan dengan cara yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Prinsip spiral curriculum-nya bukan sekadar teknik, melainkan keyakinan bahwa belajar adalah lingkaran yang terus memanggil kita untuk naik ke tingkat yang lebih dalam dari pemahaman. Sama seperti hidup yang tak pernah benar-benar selesai.

Bruner hidup di zaman ketika komputer mulai menguasai imajinasi manusia. Ia sadar bahwa teknologi bisa membawa perubahan besar. Tapi ia juga takut. Bukan pada mesin, melainkan pada cara kita melihat diri sendiri melalui mesin itu. Ia khawatir bila manusia akhirnya belajar berpikir seperti komputer: efisien, cepat, tapi tanpa cerita. Tanpa rasa.

Satu ide Bruner yang paling dalam adalah bahwa pendidikan bukan tentang apa yang harus diajarkan, tapi bagaimana kita memahami diri kita sebagai subjek yang mampu bertindak, sebagai agency. Dalam ruang kelas, anak bukan objek pembelajaran, melainkan aktor yang menciptakan dunia mereka. Mereka tidak dibentuk, mereka membentuk. Dalam tindakan itu, mereka menjadi manusia.

Saya bayangkan seorang anak perempuan duduk di bangku kayu, menulis puisi diam-diam di pojok kelas. Gurunya, alih-alih menyuruhnya diam, membacanya pelan, lalu berkata, “Tulislah lagi.” Pada momen itu, si anak belajar bahwa suaranya penting. Bahwa dunia bersedia mendengarnya. Itu adalah tindakan kecil, tapi di situlah letak revolusi.

Bruner menulis tentang sekolah sebagai tempat di mana anak belajar menjadi bagian dari budaya, tapi juga menafsirkannya kembali. Ia tidak ingin sekolah melahirkan warga yang taat, melainkan manusia yang kreatif. Pendidikan baginya adalah proses negosiasi terus-menerus antara individu dan masyarakat. Ia adalah tarian antara tradisi dan kemungkinan.

Ketika Bruner menulis tentang pendidikan sebagai praktik kebudayaan, ia tidak sedang berbicara dalam bahasa menara gading. Ia bicara tentang ruang kelas yang nyata, tentang papan tulis yang penuh coretan, tentang suara anak-anak yang kadang tidak jelas, tentang guru yang lelah tapi terus percaya.

Esai ini, tentu saja, bukan tentang Bruner saja. Ia tentang kita. Tentang apa yang kita yakini sebagai tujuan pendidikan. Tentang anak-anak yang duduk di kelas hari ini, yang akan menulis kisah dunia esok hari. Dan tentang keberanian kita untuk percaya bahwa mereka bukan bejana kosong, tapi mata air yang bisa mengalirkan dunia baru.

Kita bisa memilih melihat pendidikan sebagai sistem, atau sebagai cerita. Kita bisa memilih mengajarkan jawaban, atau membangkitkan pertanyaan. Kita bisa memilih menghafal dunia, atau membayangkannya ulang.

Bruner, seperti penyair yang tak menulis puisi, mengajak kita untuk memilih yang kedua. Bukan karena yang pertama salah, tetapi karena hidup terlalu besar untuk dikecilkan jadi rumus.

Dan mungkin, seperti anak yang duduk di bawah pohon apel itu, kita pun bisa mulai bertanya kembali. Bukan hanya mengapa buah jatuh, tapi juga bagaimana imajinasi bisa membuatnya terbang.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day

Posting Komentar