Suara-Suara di Menara Gading
Pagi yang belum matang menetes pelan di atas jendela perpustakaan. Di kejauhan, kampus masih setengah tidur. Lorong-lorong kosong, papan pengumuman usang, dan sesekali, seperti bisikan dari masa lalu, seorang dosen tua melangkah perlahan, membawa map kulit yang usianya mungkin setua harapannya pada universitas sebagai taman berpikir.
Clark Kerr, dalam catatannya yang tenang namun getir, menyebut universitas bukan lagi sekadar rumah filsuf, melainkan telah menjelma menjadi “Multiversity”, sebuah dunia dalam dunia. Sebuah organisme raksasa, tak selalu tahu ke mana ia bergerak, namun terus tumbuh, meregang ke segala arah. Tidak lagi satu suara, melainkan koor yang seringkali sumbang. Suara bisnis, suara militer, suara riset industri, suara mahasiswa, suara birokrat. Semuanya bersama, sekaligus berlawanan.
Aku teringat pada seekor gurita raksasa yang berenang di lautan dalam. Kepalanya kecil, tapi lengannya banyak dan panjang. Ia menjangkau dunia luar, tapi kehilangan pusat. Ia tak bisa lagi mendengar hatinya sendiri karena terlalu sibuk mendengarkan pasar.
Ada ironi yang kental. Tempat yang dulu dijunjung karena kejernihan berpikir, kini dibanggakan karena produktivitas riset. Mahasiswa menjadi pelanggan, bukan peziarah makna. Dan dosen? Mungkin agen birokrasi pengetahuan, mencatat publikasi, menghitung indeks sitasi, menjual proposal.
Tapi apakah Kerr pesimis? Tidak sepenuhnya. Ia bukan pengutuk zaman. Ia hanya, dengan tatapan yang bersih, menunjukkan bahwa universitas hari ini adalah cerminan masyarakatnya. Multiversity adalah gambaran dunia modern: kompleks, plural, terfragmentasi. Dan mungkin, satu-satunya kejujuran dari universitas masa kini adalah ketika ia mengakui hal itu.
Di satu sisi, universitas harus hidup. Dan untuk hidup, ia perlu dana, dukungan, jaringan. Maka datanglah industri, pemerintah, dan kepentingan luar. Riset-riset yang didanai militer, kerja sama dengan korporasi besar, program-program studi yang disesuaikan dengan pasar kerja. Tidak semuanya buruk. Tapi sesuatu hilang.
Apakah itu jiwa?
Kita mungkin sedang menyaksikan pelan-pelan tenggelamnya ideal lama tentang "Universitas sebagai Republik Akal." Sebuah tempat di mana kejujuran intelektual adalah mata uang tertinggi. Di mana seseorang boleh berpikir hal yang tak populer. Di mana seorang mahasiswa miskin boleh duduk sejajar dengan profesor besar, dan mereka sama-sama mendengarkan Plato.
Kini, universitas menjadi labirin birokrasi. Sistem evaluasi yang kaku, akreditasi yang menuntut formalitas, kompetisi antar-fakultas demi dana riset. Di balik meja-meja administrasi, idealisme terlipat rapi seperti esai yang tak sempat dibaca.
Clark Kerr menulis tentang “pencapaian” universitas modern: jumlah mahasiswa meningkat, teknologi berkembang, jumlah publikasi meroket. Tapi ia juga bertanya, dalam diam: untuk apa semua ini? Apakah universitas hanya akan menjadi pabrik pengetahuan yang efisien, tapi tanpa hati?
Aku teringat pada seorang dosen filsafat di tahun-tahun awal kuliah. Ia berbicara perlahan, nyaris seperti membaca puisi. Tak peduli apakah mahasiswanya mengerti atau tidak. Ia tidak memberi ringkasan, tidak membuka ruang tanya-jawab, tapi entah bagaimana, kuliah itu tetap hidup dalam benak kami. Karena ia mengajarkan bukan hanya apa itu epistemologi, tapi bahwa berpikir itu suci.
Di dunia Kerr, dosen seperti itu mungkin dianggap tidak produktif. Tidak ada publikasi internasional, tidak mengelola hibah penelitian, bahkan tidak aktif di media sosial akademik. Tapi mungkin, justru dialah denyut kecil yang masih mengingatkan kita pada apa itu universitas.
“Multiversity” adalah kenyataan. Tidak bisa dihindari. Tapi mungkin, tugas kita bukan meratapinya, melainkan menyisipkan ruang-ruang hening di antara hiruk-pikuknya. Seperti menanam pohon dalam pusat perbelanjaan. Atau membisikkan puisi di ruang rapat.
Clark Kerr menutup refleksinya dengan paradoks: universitas yang hebat harus berubah untuk bertahan, tapi juga harus bertahan untuk tetap berubah. Ia harus fleksibel, tapi punya integritas. Ia harus melayani masyarakat, tapi juga mengajarkan bagaimana masyarakat bisa berubah. Ia harus menjawab dunia, tapi juga berani mengajukan pertanyaan yang tak disukai dunia.
Mungkin, kita tidak sedang kehilangan universitas, tapi sedang mencari bentuk baru darinya. Bukan menara gading yang jauh dari rakyat, tapi bukan juga pasar malam yang menjual segalanya. Barangkali, kita butuh taman. Tempat tumbuh yang pelan, beragam, tak seragam, dan yang paling penting, masih memberi ruang untuk merenung.
Sebab di tengah dunia yang tergesa, universitas yang sejati adalah tempat di mana waktu boleh berhenti sebentar. Tempat di mana seorang mahasiswa boleh duduk lama, menatap satu baris kalimat, dan bertanya: "Apa artinya menjadi manusia?"
Dan jawaban itu, seperti yang mungkin disadari Kerr, tidak akan ditemukan di laporan akreditasi.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar