ZMedia Purwodadi

Suara Mesin, Diamnya Kehendak

Daftar Isi

Pernahkah kita memperhatikan seekor burung dara yang mematuk tombol demi sejumput makanan? Skinner menyebut itu sebagai reinforcement schedule, atau jadwal penguatan. Tapi barangkali, dalam gambaran itu, tersembunyi wajah kita sendiri: mengetik layar ponsel, menanti balasan. Apakah kita juga seekor burung, hanya lebih terampil menyembunyikan sangkar?

B.F. Skinner tidak berbicara tentang kehendak bebas, karena baginya kehendak itu bukan sebab. Melainkan akibat. Setiap tindakan manusia, menurutnya, bukanlah pancaran dari kebebasan batin, melainkan hasil dari rekayasa lingkungan yang tak kasat mata. Ia tidak membenci kemanusiaan. Ia hanya ingin menata ulang pemahamannya, dan juga dunia yang dibangun darinya, dengan logika eksperimen dan kejelasan sebab-akibat.

Dalam laboratoriumnya, manusia bukan makhluk rasional yang sedang mencari makna. Ia adalah organisme. Dan seperti organisme lainnya, ia belajar bukan dari dalam, tapi dari luar. Operant conditioning adalah simfoni luar yang mengatur harmoni dalam. Bila balita berkata “terima kasih” dan kemudian dipuji, ia belajar mengulanginya. Bukan karena paham sopan santun, tetapi karena diprogram.


Dan di sinilah Skinner merayakan keyakinannya. Jika manusia adalah hasil dari penguatan-penguatan, maka kita bisa mencipta masyarakat yang lebih baik dengan merancang penguatan yang lebih bijak. Ia tidak menulis puisi. Tapi ia menawarkan mesin. Dalam buku Walden Two, Skinner membayangkan masyarakat utopis yang berjalan tanpa hukuman, tanpa kekerasan, hanya dengan manipulasi cermat terhadap kebiasaan. Ia percaya manusia bisa diprogram menuju kebajikan. Hanya saja, suara mesin itu terlalu sunyi untuk mendengar jeritan hati.

**

Ada semacam ironi tragis dalam gagasan Skinner. Ia ingin membebaskan manusia dari sistem hukuman dan ketakutan, namun dengan cara menukar ilusi kebebasan dengan rekayasa perilaku. Apakah itu benar-benar pembebasan? Ataukah bentuk baru dari penjara, penjara yang begitu halus hingga kita menyebutnya pilihan?

Barangkali Skinner tidak sedang membungkam jiwa manusia. Tapi ia memintanya berhenti bernyanyi.

Ia hidup di abad yang telah menyaksikan kehancuran akibat keyakinan-keyakinan liar: ideologi, agama, romantisisme tentang manusia sebagai pusat segalanya. Skinner, seorang behavioris sejati, menanggalkan semua itu. Ia tidak menulis tentang cinta atau penderitaan, tapi tentang levers, pellets, dan stimuli. Dan dalam kesederhanaannya itu, ia mengklaim sedang memperbaiki dunia.

Namun manusia bukan hanya respons. Kita juga diam. Dan dalam diam itu, ada keraguan. Ada kesedihan yang tak bisa dijelaskan oleh statistik. Ada keinginan yang tidak muncul dari penguatan positif, tapi dari kekosongan.

**

Pada suatu sore, seorang ayah menatap anaknya yang menggambar. “Hebat!” katanya spontan, dan anak itu tersenyum. Skinner akan menyebut itu sebagai positive reinforcement. Tapi si ayah tahu, di luar istilah itu, ada cinta yang tak bisa direduksi. Ia tidak melatih anaknya. Ia menyentuhnya.

Skinner tidak menyangkal cinta. Ia hanya menganggapnya sebagai kebiasaan yang dipelajari. Tapi cinta, dalam kenyataannya, seringkali tidak masuk akal. Kita mencintai bahkan ketika tak ada umpan balik. Kita bertahan bahkan saat tidak ada penguatan.

Di sinilah behaviorisme menemui dinding batin yang tak bisa ditembus data.

**

Namun Skinner mengingatkan kita pada satu hal: bahwa perilaku manusia bukanlah misteri suci yang tak bisa disentuh. Ia bisa dipahami. Dan pemahaman itu membawa kekuatan, juga tanggung jawab. Pendidikan, misalnya, bisa berhenti menjadi institusi hukuman dan menjadi taman penguatan. Kita bisa menciptakan sistem yang membuat kebaikan lebih mungkin, bukan hanya karena harus, tapi karena terbiasa.

Ia menyarankan agar kita tidak bertanya, “Mengapa anak itu malas?” tapi “Apa yang memperkuat kemalasannya?” Ia tidak melihat dosa. Ia melihat pola. Dan dari pola, kita bisa memperbaiki, bukan menghakimi.

**

Tapi mungkin yang tak tertangkap oleh Skinner adalah apa yang tidak dilakukan manusia. Kita tidak selalu bertindak demi hadiah. Kadang kita diam. Kadang kita menolak. Kadang kita memilih jalan sulit, bukan karena diperkuat, tapi karena kita ingin bebas.

Dalam dunia Skinner, kebebasan adalah mitos. Tapi mungkin, justru mitos itulah yang membuat kita tetap manusia.

**

Seperti lagu yang tetap dinyanyikan meski tak ada penonton. Seperti puisi yang ditulis di tengah malam, tanpa harapan akan dibaca. Dalam tindakan-tindakan sunyi itu, manusia menegaskan dirinya. Bukan sebagai mesin, tapi sebagai misteri yang tak selesai.

Mungkin Skinner benar. Kita adalah hasil lingkungan. Tapi mungkin juga, ada sesuatu dalam diri manusia yang selalu melampaui penjelasan. Sesuatu yang memilih, bukan karena diperkuat, tapi karena mencintai.

Dan barangkali, dalam diamnya kehendak, di sanalah kebebasan berbisik.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day

Posting Komentar