Sekolah yang Tak Terlihat
Di suatu senja yang redup di sebuah ruang kelas yang kosong, saya duduk menghadap jendela yang retak. Cahaya oranye dari matahari tenggelam menyusup lewat kaca yang pecah di sudut, memantul pada meja-meja kusam yang pernah menjadi saksi bisu tawa dan tangis anak-anak. Sekolah, kata John I. Goodlad, bukan sekadar bangunan, bukan sekadar kurikulum, atau pun alat tulis yang tertata rapi. Sekolah adalah dunia yang utuh. Dan dunia itu sedang terlupakan.
Goodlad, dalam renungannya yang dalam dan tenang, menyodorkan kepada kita satu pertanyaan sunyi: Apakah sekolah telah menjadi tempat hidup yang berarti, atau sekadar tempat parkir harapan?
Ia menyadarkan kita bahwa sekolah telah terjebak dalam irama yang mekanistik. Anak-anak datang, duduk, mendengar, mencatat, lalu pergi. Dalam sistem yang demikian, kita lupa bahwa sekolah sejatinya adalah taman yang harus tumbuh bersama jiwa-jiwa yang menghuninya. Pendidikan, kata Goodlad, tidak boleh menjadi proses pembotakan. Kita tidak boleh mengeruk setiap keunikan demi keseragaman. Pendidikan seharusnya menjadi sebuah tarian antara makna, nilai, dan kehidupan.
Di halaman-halaman yang dipenuhi analisisnya tentang reformasi pendidikan, Goodlad tidak menulis dengan marah. Ia menulis dengan gelisah. Seperti seseorang yang berdiri di tengah kota yang terus dibangun, tapi lupa menanam pohon. Ia tahu bahwa membenahi pendidikan bukan tentang mengganti nama kementerian atau mengganti istilah "KBK" menjadi "Kurikulum Merdeka". Bukan pula soal ujian berbasis komputer. Melainkan soal bagaimana kita melihat anak manusia di dalam sekolah, bukan sekadar objek pembelajaran, tapi subjek kehidupan.
Ia mencatat tentang peran guru, bukan sebagai pengisi otak, tapi penjaga bara api. Guru harus menciptakan suasana, bukan hanya menyampaikan isi. Mereka seperti penyair yang bekerja di balik kerah putih dan absen harian. Mereka yang diam-diam menanam keberanian di antara soal matematika, dan menyisipkan kasih sayang dalam coretan tinta merah. Tapi sistem sering membuat guru lupa siapa dirinya. Mereka dipaksa menjadi tukang bangunan kurikulum, bukan pengrajin jiwa.
Goodlad mengkritik obsesi pada reformasi struktural yang tak menyentuh inti: makna sekolah. Ia melihat betapa banyak reformasi yang dirancang dari atas tanpa pernah duduk bersila bersama anak-anak di lantai kelas. Ia percaya bahwa jika kita ingin membangun pendidikan yang bermakna, maka kita harus memulai dari kelas, dari hubungan antara guru dan murid, dari detak jantung ruang belajar.
Saya membayangkan kembali kelas saya. Meja-meja kayu itu, papan tulis yang mulai mengelupas, dan suara pelan spidol yang menari di atasnya. Mungkin semua itu bukan sekadar alat. Mungkin mereka adalah bagian dari puisi yang belum selesai. Goodlad mengajak kita menulis puisi itu kembali, bukan dengan rima yang rapi, tapi dengan kejujuran.
Ia berbicara tentang pentingnya “schooling” sebagai pengalaman kultural. Sekolah haruslah mencerminkan demokrasi, bukan hanya mengajarkannya. Anak-anak harus mengalami bagaimana menjadi bagian dari komunitas yang mendengarkan, berdialog, dan merayakan perbedaan. Sekolah tidak boleh menjadi tempat di mana ketaatan lebih penting dari empati. Ia harus menjadi tempat di mana anak-anak belajar menangis bersama dan tertawa bersama, belajar menjadi manusia sebelum menjadi profesional.
Sungguh, kata Goodlad, banyak yang terjadi di sekolah yang tidak tampak dalam laporan kepala sekolah. Ada pandangan mata, ada bisikan kecil, ada keheningan yang panjang setelah seorang anak gagal menjawab soal. Di situlah pendidikan yang sejati tumbuh. Dalam diam, dalam ruang-ruang kecil yang tidak masuk dalam evaluasi nasional.
Saya bertanya dalam hati, berapa banyak dari kita yang mendengar suara itu? Atau kita terlalu sibuk menyusun laporan pembelajaran, mengejar akreditasi, dan memperbaiki nilai rata-rata?
Sekolah, dalam bayangan Goodlad, adalah rumah yang hidup. Ia bukan pabrik ijazah. Ia adalah tempat anak-anak belajar mencintai dunia dan dirinya. Tapi kita telah memagari rumah itu dengan angka, target, dan evaluasi. Kita lebih takut pada hasil buruk UN daripada kehilangan satu anak yang merasa dirinya tak berarti.
Ia menulis dengan keyakinan bahwa perubahan tidak akan datang dari perintah pusat, tapi dari hati guru, dari komunitas yang mau berjalan pelan, menengok ke dalam, dan bertanya: “Apa makna pendidikan ini sebenarnya?”
Di ujung esainya, saya merasa Goodlad bukan sedang menulis tentang sekolah, tapi tentang kemanusiaan. Ia tidak sedang mengkritik sistem, ia sedang merindukan dunia yang lebih lembut, lebih mendengar, lebih berani mencintai.
Dan mungkin, dalam diam kelas yang kosong ini, saya mendengarnya. Suara lembut dari seorang anak yang bertanya lagi, “Kenapa langit berubah warna setiap sore?” Saya tersenyum. Karena saya tahu, pendidikan telah dimulai. Bukan dari buku, bukan dari papan tulis, tapi dari rasa ingin tahu yang tulus. Dan tugas kita adalah menjaga nyala itu, sebelum ia padam.
Sebab sekolah bukan tempat anak-anak dibentuk seperti batu bata. Sekolah adalah taman, dan tugas kita adalah menjadi penjaga musim.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar