ZMedia Purwodadi

Sekolah yang Menggugurkan Hati

Table of Contents

Ada seorang anak bernama Rory. Ia pernah merasa bahwa dirinya adalah “orang asing” di kelasnya sendiri. Ia berkata, “Aku merasa seperti outcast.” Dan kalimat itu tinggal lama dalam pikiran saya, karena bukankah sekolah, tempat yang dijanjikan sebagai rumah kedua, tak jarang justru menggugurkan rasa milik dari dada yang kecil dan sedang tumbuh?

Saya membayangkan ruang kelas seperti akuarium besar yang dijaga ketat: anak-anak diminta berenang dalam arah yang sama, kecepatan yang sama, dan kedalaman yang sama. Namun, ada anak-anak seperti Musa, yang menyukai angka-angka, tetapi tak mampu menemukan makna dalam huruf-huruf. Atau Santosh, yang lebih tertarik membuat kerajinan tangan daripada mengerjakan soal penjumlahan. Dalam ruang itu, mereka bukan hanya terlambat berenang. Mereka dianggap gagal.

Tapi apakah benar mereka gagal?


Dalam sebuah studi lima tahun, empat anak dari dua puluh tiga yang diteliti menunjukkan sesuatu yang luar biasa langka: mereka bertahan sebagai dirinya sendiri. Di tengah kurikulum yang menumpuk angka, target, dan grafik pencapaian, mereka tetap punya suara, dan lebih penting, tetap mendengarkan suara itu.

Mereka disebut memiliki Autonomous Orientation. Sebuah istilah yang dingin untuk menjelaskan sesuatu yang sangat hidup: keinginan anak untuk belajar karena dorongan dari dalam dirinya sendiri, bukan karena takut hukuman atau mengejar hadiah. Mereka adalah anak-anak yang tidak menyerah menjadi manusia, bahkan ketika sistem mengarahkan mereka untuk hanya menjadi angka dalam tabel.

Di sekolah yang sama, yang diam-diam menjadi oasis dalam lanskap pendidikan yang kering dan tergesa, empat anak ini diberi ruang. Ruang untuk mencoba. Ruang untuk gagal tanpa dipermalukan. Dan yang paling penting, ruang untuk menjadi berbeda.

Saya membayangkan bagaimana sekolah itu menyusun jadwalnya. Di mana guru-guru membagi waktu untuk membimbing kelompok kecil. Di mana kelompok belajar bukan penjara yang tetap, tapi pintu yang bisa dibuka dan ditutup. Di mana keterlambatan tidak dihukum, melainkan ditanyakan: “Mengapa?”

Santosh, dengan kreativitasnya yang meledak-ledak, mengatakan: “Sekolah bukanlah kita. Jadi kita bisa memilih apa yang kita suka dan tidak suka.” Sebuah kalimat yang bisa membuat para birokrat pendidikan gelisah, dan justru karena itu, sangat perlu didengar.

Tentu, ada juga Musa, yang marah karena dihukum hanya karena tertawa di kelas. Ia berkata, “Saya merasa sangat sedih karena dikeluarkan.” Tapi kemudian ia membuat keputusan: untuk mengubah sikapnya. Bukan karena takut, tapi karena ia ingin menjadi guru matematika, kalau suatu saat gagal menjadi pemain bola.

Apakah ini bentuk kepatuhan?

Saya kira bukan. Ini bentuk tertinggi dari kehendak bebas: memilih bertahan dalam sistem, bukan karena sistem itu adil, tapi karena ia ingin menjadikan sistem itu lebih layak untuk dirinya.

Dan bagaimana dengan Rory? Ia mengkritik kampanye di sekolah yang mendorong anak-anak berpikir soal pekerjaan dan gaji sejak dini. Ia tahu ada yang lebih penting dari prospek kerja: kemampuan memilih jalan sendiri. “Tidak ada demokrasi di kelas,” katanya suatu hari. Kalimat itu membuat saya terdiam cukup lama.

Apakah benar sekolah tidak demokratis?

Kita mengira sekolah mengajarkan kebebasan berpikir, tapi sering kali hanya menyuruh anak-anak mengulangi kalimat yang dianggap benar. Kita mengira sekolah melatih kreativitas, tapi dengan cepat memotong jawaban yang “tidak sesuai kurikulum.” Dalam banyak kasus, pendidikan telah berubah menjadi sistem filtrasi, siapa yang bisa bertahan dalam standar yang dibuat dari luar, dan siapa yang harus keluar perlahan-lahan, terpaksa percaya bahwa dirinya kurang.

Namun, ada sesuatu yang tetap tumbuh, diam-diam, seperti akar pohon di bawah aspal. Keempat anak ini, Santosh, Musa, Amin, dan Rory, membuktikan bahwa otonomi tidak mati. Ia hanya butuh celah kecil, sebuah ruang teduh, dan seseorang yang bersedia mendengarkan.

Sekolah, sejatinya, bukan mesin produksi nilai. Ia adalah tempat di mana anak-anak belajar menjadi dirinya sendiri, dengan segala kerumitannya, kesalahannya, dan keindahannya. Tapi untuk menjadi tempat seperti itu, sekolah harus belajar melepaskan. Melepaskan obsesi pada angka, peringkat, dan lembar kerja. Dan mulai mendekap hal-hal yang tak bisa diukur: keberanian untuk berbeda, keingintahuan yang jujur, dan kekuatan untuk mengkritik dunia tanpa kehilangan kasih terhadapnya.

Mungkin, seperti kata Santosh, sekolah memang bukan “kita”. Tapi barangkali, suatu hari nanti, jika kita cukup berani, sekolah bisa menjadi cerminan dari yang terbaik dalam diri kita.

Bukan karena semua anak berhasil mengikuti aturan, tapi karena mereka diberi ruang untuk menciptakan aturannya sendiri.


2 komentar

Comment Author Avatar
17 Juli 2025 pukul 11.30 Delete
Mengedukasi, menginspirasi
Comment Author Avatar
17 Juli 2025 pukul 12.01 Delete
Makasih suhu