ZMedia Purwodadi

Sekolah yang Enggan Berubah

Table of Contents

Pada suatu pagi yang malas, seekor kura-kura tua melintasi halaman sekolah. Ia tak sedang tergesa, juga tidak melamun. Ia hanya berjalan, perlahan dan tenang, seperti tanah yang tahu bahwa segala sesuatu tumbuh karena waktu, bukan karena paksaan. Seorang anak memerhatikannya dari balik jendela kelas, pikirannya mengembara lebih jauh daripada buku matematika yang dibuka separuh hati.

Sekolah, bagi Seymour Sarason, adalah institusi yang enggan beranjak, seperti kura-kura tua itu. Di dalamnya, waktu tidak berjalan ke depan, melainkan melingkar; mengulang kurikulum, ujian, dan rapor dengan ritme upacara yang nyaris sakral. Reformasi datang dan pergi seperti musim, namun struktur yang menghidupi sekolah tetap abadi dalam ketidakpekaannya terhadap perubahan sejati.

Sarason tidak mencaci sekolah. Ia justru mencintainya, seperti seorang anak mencintai rumah yang tak pernah mengizinkannya berbicara dengan jujur. Kecintaan itu membuatnya jengkel, membuatnya ingin mengguncang dinding-dinding ruang guru dan bertanya: Mengapa sekolah begitu sulit diubah?


Ia menemukan jawabannya tidak pada kurangnya ide, tetapi pada sebuah keangkuhan tersembunyi: bahwa sekolah merasa tahu apa yang terbaik untuk anak-anak, tanpa benar-benar mendengarkan mereka.

Ada ironi yang menggigit di sana: lembaga yang didedikasikan untuk pembelajaran justru adalah tempat yang paling kebal terhadap pembelajaran tentang dirinya sendiri.

Sarason menyebut ini sebagai “sindrom ketidakmungkinan perubahan”. Sebuah kondisi di mana setiap percobaan reformasi tenggelam dalam labirin birokrasi, tradisi, dan ketakutan. Kepala sekolah datang dan pergi, guru dipindahkan, kebijakan diubah, tapi perasaan anak-anak di bangku-bangku kayu tetap: sekolah bukan milik mereka. Sekolah adalah sesuatu yang terjadi kepada mereka, bukan bersama mereka.

Dalam dunia Sarason, reformasi pendidikan bukanlah persoalan struktur, melainkan makna. Bukan hanya soal mengubah jadwal atau mengganti buku teks, tetapi menyentuh jantung dari pengalaman bersekolah. Pertanyaannya sederhana, nyaris kekanak-kanakan: Apakah sekolah adalah tempat yang ingin didatangi oleh mereka yang menghuninya?

Jika jawabannya tidak, maka perubahan apapun, sebrilian apapun, seteknis apapun, hanyalah kosmetik. Seperti mengecat dinding rumah yang retak tanpa menyentuh fondasinya.

Aku ingat percakapan dengan seorang guru matematika yang telah mengajar selama 27 tahun. “Aku lelah,” katanya, “bukan karena murid-murid, tapi karena sistem yang selalu menuntut lebih tanpa pernah bertanya bagaimana aku sebenarnya.” Ia tidak membenci pekerjaannya, hanya tidak lagi yakin apa makna dari yang ia lakukan.

Sarason akan memeluknya, lalu berbisik: “Inilah akar persoalannya.” Ketika para guru merasa tidak memiliki suara, ketika siswa merasa sekadar angka di dalam daftar, dan ketika kepala sekolah sibuk menyenangkan atasan birokratisnya, sekolah menjadi sebuah panggung. Semua memainkan peran, tapi tidak ada yang menulis naskahnya bersama.

Ia menyebut ini sebagai kegagalan untuk menciptakan “konteks psikologis untuk pembelajaran”. Sebuah istilah yang mungkin terdengar teknis, namun sarat muatan emosional: bahwa pembelajaran sejati hanya terjadi dalam ruang di mana orang merasa didengar, dihargai, dan diakui keberadaannya. Tanpa itu, semua hanyalah hafalan, dan seperti yang kita tahu, hafalan bukanlah pemahaman.

Sekolah, dalam visi Sarason, seharusnya menjadi komunitas yang hidup. Bukan sekadar tempat belajar, melainkan tempat menjadi. Ia merindukan sebuah ruang di mana anak-anak dan guru tumbuh bersama, di mana kesalahan tidak dihukum tetapi ditanya: “Apa yang kau pelajari dari situ?”

Namun sekolah sering kali seperti pohon plastik: rapi, simetris, dan steril. Tak ada akar yang menyentuh tanah. Tak ada burung yang ingin bersarang.

Maka Sarason menulis bukan sebagai seorang pakar yang menunjuk-nunjuk, melainkan sebagai seorang saksi yang resah. Ia tahu bahwa perubahan sejati menuntut keberanian yang tidak populer: keberanian untuk menangguhkan asumsi, untuk mengakui ketidaktahuan, dan yang paling sulit, untuk mendengarkan.

Mendengarkan anak-anak, misalnya, yang mungkin akan berkata bahwa mereka lebih takut kepada nilai daripada kepada kegagalan itu sendiri. Mendengarkan guru-guru yang ingin belajar, tetapi tidak diberi waktu. Mendengarkan suara-suara di lorong-lorong sekolah, yang kadang lebih jujur daripada rapat-rapat di ruang kepala sekolah.

Di akhir hidupnya, Sarason tahu bahwa ia tidak akan melihat reformasi sejati dalam bentuk institusional. Tapi ia telah menanamkan satu benih: bahwa perubahan sejati dimulai dari kesadaran akan kekuasaan diam-diam yang hidup di sekolah. Bukan kekuasaan dalam arti otoritas, tetapi dalam bentuk asumsi: tentang siapa yang berhak bicara, siapa yang dianggap pandai, siapa yang selalu salah.

Mengubah sekolah, bagi Sarason, bukanlah merombak kurikulum. Itu hanya permukaan. Yang lebih dalam adalah mengubah cara kita memahami sekolah itu sendiri: bukan sebagai mesin produksi nilai, tetapi sebagai ekosistem yang rapuh, yang hanya bisa tumbuh jika diberi ruang untuk bernapas.

Dan mungkin, dalam pagi yang malas itu, kura-kura tua yang berjalan di halaman sekolah tahu lebih banyak daripada siapa pun. Ia tidak tergesa, karena ia tahu: perubahan yang sejati tidak datang dari luar, tapi dari dalam; pelan, sunyi, namun tak terbantahkan.

Dan anak yang memerhatikannya dari balik jendela mungkin sedang belajar pelajaran yang tak tercatat dalam silabus: bahwa sabar bukan berarti menyerah, dan bahwa perubahan sejati adalah keberanian untuk tetap berjalan meski pelan, menuju sekolah yang bisa ia cintai.


Posting Komentar