Sebuah Catatan tentang Pendidikan dan Jiwa
Di sebuah katedral tua, pernah saya duduk sendiri, lama sekali, di bangku kayu yang dingin. Sinar matahari masuk melalui kaca patri, memantulkan warna-warni yang menari pelan di dinding batu yang kusam. Di ruang sunyi itu, suara tidak bersuara memanggil saya: tentang arti belajar yang lebih dari sekadar menghafal, tentang pendidikan yang menyentuh bukan hanya akal, tetapi juga hati. Dan dalam gema batin yang hening itu, saya seperti mendengar suara John Henry Newman, bukan sebagai seorang figur sejarah, melainkan sebagai suara dari kedalaman zaman, yang ingin bicara, pelan tapi tegas, tentang universitas, iman, dan akal budi.
Newman tidak datang dari dunia para teknokrat. Ia tidak hendak membangun sistem pendidikan yang kaku, penuh daftar dan jadwal. Ia lebih menyerupai seorang pengelana rohani, yang memahami bahwa pendidikan sejati adalah perjalanan panjang, kadang sunyi, kadang gelap, tapi selalu diarahkan menuju terang pengertian.
Ia berbicara tentang universitas sebagai tempat di mana pikiran belajar bernapas dalam kebebasan. Bagi Newman, universitas bukanlah pabrik pencetak tenaga kerja. Ia adalah taman luas tempat ide tumbuh liar namun indah, tempat logika dan etika menari bersama. Sebuah tempat di mana kebenaran tidak diburu demi manfaat praktis, tetapi dihormati sebagai kebenaran itu sendiri.
Ia percaya bahwa nilai tertinggi dari belajar bukanlah agar seseorang menjadi kaya, atau berkuasa, melainkan agar ia menjadi manusia yang utuh. Manusia yang berpikir jernih, berbicara dengan tanggung jawab, dan bertindak dengan nurani. Di sinilah letak radikalitas Newman. Ia mengangkat idealisme dalam dunia yang makin pragmatis.
Dalam dunia yang sering menuntut hasil cepat, pendidikan yang Newman tawarkan tampak seperti anomali. Tapi justru karena itu ia penting. Ia menantang kita untuk berhenti sejenak dari kecepatan zaman. Ia mengajak kita untuk kembali ke hal-hal yang tak lekang: integritas, kejujuran intelektual, dan pencarian makna.
Pendidikan, baginya, adalah pembentukan habit of mind. Sebuah kebiasaan berpikir yang tajam tapi tidak sinis, kritis tapi tidak arogan. Dalam pikirannya, seseorang yang terdidik bukanlah yang menguasai banyak data, melainkan yang mampu menempatkan pengetahuan dalam konteks, menghubungkan satu wacana dengan yang lain, dan akhirnya mampu melihat gambaran yang lebih utuh, sebuah view dari kehidupan itu sendiri.
Pikiran yang terlatih adalah seperti prisma: ia membiaskan cahaya dari banyak arah tanpa kehilangan kejernihan. Dan di situlah Newman menemukan nilai sejati dari pendidikan liberal.
Namun Newman tidak memisahkan akal dan iman. Ia menolak dikotomi palsu antara keduanya. Dalam dunia yang makin terbelah antara rasionalitas dan spiritualitas, ia seperti membangun jembatan dari kata dan doa. Ia percaya bahwa iman tidak bertentangan dengan akal, justru menggenapinya. Dalam satu kalimat yang menggema, ia menyebut bahwa universitas adalah tempat “where the intellect may safely range and speculate, sure to find its equal in some antagonist activity, and its judge in the tribunal of truth.”
Dan dalam penghayatan yang lembut itu, ia menjadikan pendidikan sebagai tindakan moral. Bukan karena ia mengajarkan dogma, tapi karena ia membangun kapasitas batin untuk melihat yang benar sebagai sesuatu yang juga baik. Ia tahu bahwa tanpa dimensi moral, pengetahuan menjadi senjata tanpa arah. Maka, belajar bukan hanya soal tahu, tetapi soal menjadi.
Pendidikan yang baik, dalam pandangannya, tidak menghasilkan mesin pintar, tapi pribadi yang tangguh. Seorang lulusan universitas ideal bukan hanya tahu cara berpikir, tapi juga tahu kapan harus diam. Ia punya kelembutan untuk mendengar, dan keberanian untuk menolak ketika nuraninya diganggu. Ia adalah manusia yang utuh, bukan hanya spesialis dalam bidang sempit.
Saya teringat kembali pada katedral itu. Pada cahaya yang diam. Pada keheningan yang tidak kosong. Dan saya mulai memahami, bahwa pendidikan yang sejati selalu memiliki unsur sakral: bukan dalam arti agama formal, tapi dalam kesungguhan jiwa untuk mendekati kebenaran dengan rendah hati. Ada sesuatu yang hampir religius dalam pencarian yang jujur.
John Henry Newman mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah seni membentuk kebebasan yang bertanggung jawab. Bahwa belajar adalah cara manusia menyentuh yang tak terlihat. Bahwa universitas bukan sekadar tempat, tapi keadaan jiwa yang selalu ingin bertumbuh.
Dan barangkali, itulah yang paling kita butuhkan hari ini: bukan hanya keterampilan, tapi kebijaksanaan. Bukan hanya suara, tapi gema. Bukan hanya terang, tapi mata yang mampu melihat cahaya.
Dalam kesunyian, mungkin pendidikan yang sesungguhnya adalah ketika seseorang menemukan bahwa kebenaran tidak hanya dicari, tetapi juga dialami, dalam setiap relung hidup yang kita jalani.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar