Rumah yang Tak Terlihat
Ada sebuah rumah yang tak pernah muncul dalam rapat wali murid. Rumah itu berdiri di tepi kota, di ujung waktu yang dipungut dari sisa shift malam, dan suara-suara dalam rumah itu tak mengenal bentuk surat pengumuman sekolah. Bukan karena tak peduli, tapi karena hidup sendiri sudah seperti ujian semester yang tak kunjung habis.
Dalam dunia pendidikan, kita mengenal istilah parental involvement, sebuah frasa yang tampaknya sederhana, tapi menyimpan rimba harapan dan bias. Kita membayangkan orang tua yang hadir dalam setiap pertemuan guru, menanyakan nilai anaknya, membantu mengerjakan PR, membawa kue saat bazar sekolah. Kita memujanya. Inilah orang tua yang peduli. Tetapi seperti semua pujaan, gambaran itu eksklusif. Ia memilih siapa yang boleh dianggap “peduli.”
Dalam penelitian Flora Woltran, para guru di Austria diminta menilai sejauh mana keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak. Hasilnya bukan sekadar angka, tapi cermin: orang tua dari keluarga miskin, dari keluarga migran, atau dari anak-anak berkebutuhan khusus dinilai kurang terlibat dibanding mereka yang berasal dari keluarga “biasa.” Tapi tunggu. Biasa itu siapa?
Maka yang tak “biasa” pun perlahan menghilang dari peta harapan guru. Mereka tak datang ke rapat, tak menelpon guru, tak tahu harus bicara apa dalam dunia yang menilai mereka dengan cara yang asing. Mereka tidak absen, hanya tak dikenali.
Ada satu pengakuan dari seorang guru dalam studi itu: “Saya rasa semua orang tua sebenarnya peduli, hanya saja sistem sekolah kita terlalu bergantung pada keterlibatan mereka, yang tak semua bisa diberikan.” Sebuah pengakuan sederhana, tapi penting. Mungkin yang keliru bukan pada kepedulian, melainkan pada cara kita menimbangnya.
Di sinilah letak tragedi yang halus tapi keras. Sekolah, lembaga yang seharusnya menjadi jembatan, kadang membangun tembok. Ia menganggap norma kelas menengah sebagai patokan dan lupa bahwa bahasa cinta orang tua terhadap pendidikan tak selalu hadir dalam bentuk jadwal kehadiran atau surat balasan. Kadang cinta itu hadir sebagai bekal nasi yang dimasak buru-buru pukul lima pagi. Sebagai doa lirih yang tak tercatat dalam sistem informasi sekolah.
Salah satu metafora yang menghantui tulisan ini adalah tentang “panggung.” Sekolah sering seperti teater, tempat di mana anak dan orang tua harus tahu kapan berdiri, kapan bicara, apa kostumnya. Dan bila tak tahu, mereka tampak canggung, atau salah, atau bahkan seperti tak peduli. Padahal mungkin mereka hanya tak pernah diundang untuk berlatih.
Woltran menyebut adanya “narasi orang tua yang peduli,” dan betapa sempitnya definisi itu. Ketika orang tua tidak masuk dalam cetakan tersebut, mereka dianggap sebagai kekurangan, bukan sebagai versi lain dari perhatian. Dalam kebijakan dan persepsi guru, versi-versi lain itu tertinggal di luar pagar sekolah.
Namun, seperti kata seorang penyair, yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Ia mungkin hadir dalam bentuk yang tidak dikenali oleh rubrik evaluasi, seperti waktu yang dikorbankan, kelelahan yang ditahan, atau sekadar keberanian menyekolahkan anak dalam sistem yang tidak bicara dalam bahasa mereka.
Di akhir hari, yang ditanyakan oleh esai ini bukan sekadar bagaimana melibatkan orang tua dalam pendidikan, tapi bagaimana sekolah bisa membongkar harapan-harapan normatifnya sendiri. Dapatkah sekolah melihat bahwa orang tua yang “tidak hadir” di ruang kelas mungkin sedang bekerja dua shift agar anaknya bisa tetap berada di sana? Dapatkah guru melihat bahwa keterlibatan tidak selalu bisa dibaca dalam angka dan presensi?
Mungkin pendidikan yang adil bukan tentang memaksa semua rumah mengikuti satu tata ruang, tapi tentang mengakui bahwa rumah-rumah hadir dalam bentuk dan bahasa yang berbeda. Dan tugas kita bukan menstandarkan rumah itu, tapi membuka pintu agar semua bisa masuk, dengan cara mereka sendiri.
Karena pada akhirnya, yang kita sebut “ketidakterlibatan” bisa jadi adalah bentuk cinta yang sedang kita salah pahami.]
Posting Komentar