ZMedia Purwodadi

Retakan Kapur dan Pelangi Kecil

Daftar Isi

Kadang, di tengah keruwetan yang menjelma rutinitas, seorang guru melihat sesuatu yang tak bisa diukur dengan formulir atau laporan kinerja. Mungkin itu senyum anak yang akhirnya mengerti pecahan, atau bisikan malu-malu dari siswa yang berkata, “Aku percaya bisa sekarang, Miss.” Mereka menyebutnya “moments of light”. Cahaya yang sekejap, tapi cukup untuk menyalakan lentera kecil dalam terowongan panjang bernama profesi.

Menjadi guru di Inggris hari ini, menurut temuan penelitian yang saya baca, adalah seperti mencoba menari dalam badai. Langkah-langkah mereka terseret oleh beban administratif, ekspektasi yang tak realistis, dan ketidakpastian yang menyesakkan dada. Tidak ada jeda, tidak ada napas panjang, hanya keharusan untuk selalu tampak bisa, bahkan ketika tubuh mulai berkhianat dan pikiran menipis oleh gelisah yang bertumpuk.

Pernahkah Anda mendengar istilah “presenteeism”? Istilah itu digunakan untuk menggambarkan para guru yang tetap hadir di kelas meski seharusnya sedang terbaring di rumah. Bukan karena mereka keras kepala, tetapi karena ada budaya diam-diam yang menuntut mereka untuk tidak pernah mengaku lelah. Lelah menjadi dosa dalam dunia yang mengagungkan produktivitas.


Saya membayangkan seorang guru pulang ke rumahnya dengan ransel beban yang tak hanya berisi buku murid, tetapi juga tangis yang tak bisa ia tunjukkan di sekolah. Ia duduk di meja makan, makan terburu-buru, lalu membuka laptop untuk menilai tugas-tugas yang jumlahnya seperti hujan bulan November. Tak henti-henti dan sering kali tak dimengerti asal-usulnya.

Namun di tengah gelap, para penulis riset ini menemukan kilatan kecil: para guru tetap bertahan. Mengapa?

Karena anak-anak.

Karena tawa yang tak bisa direkayasa.

Karena momen ketika seorang murid yang selama ini terdiam tiba-tiba berani membaca keras-keras di depan kelas. Bukan karena kurikulum, bukan karena target, tapi karena si guru ada di sana. Hadir, penuh perhatian.

Guru-guru ini, seperti pohon tua di lapangan bermain, berdiri tegak meski diterpa angin birokrasi dan hujan inspeksi. Mereka tahu bahwa menjadi guru bukan tentang menyelesaikan daftar tugas, melainkan tentang menanamkan rasa percaya diri, menyemai keberanian, dan memberi ruang bagi imajinasi anak tumbuh seperti sulur di jendela kelas.

Namun terlalu banyak dari mereka kini mulai merasa seperti mesin. Digerakkan oleh sistem yang tidak memahami betapa manusiawinya pekerjaan ini. Betapa rapuhnya menjadi seseorang yang diandalkan, tetapi jarang didengarkan. Ada yang berkata, “Aku tidak lagi merasa cukup,” atau “Aku merasa seperti gagal, bahkan saat aku memberi segalanya.”

Barangkali itulah tragedi yang paling sunyi dari profesi ini: ketika seseorang memberi nyaris segalanya, dan masih merasa kurang.

Riset ini mencatat bahwa banyak guru kehilangan batas antara rumah dan sekolah. Pekerjaan mengalir ke ruang keluarga, masuk ke kamar tidur, bahkan menyelinap ke mimpi-mimpi. Anak-anak mereka tumbuh dengan sosok orangtua yang ada secara fisik, tetapi sering absen secara emosi.

Dan tetap saja, mereka tidak pergi.

Mereka bertahan.

Bukan karena gaji yang menawan. Bukan pula karena penghargaan yang seringkali nihil. Tapi karena dalam reruntuhan sistem yang tak lagi peka, masih ada sesuatu yang suci: relasi dengan murid, percakapan dengan rekan sejawat, tawa kecil di tengah kelelahan besar.

Mungkin kita perlu berhenti bertanya mengapa mereka lelah, dan mulai bertanya mengapa mereka terus kembali. Karena di sanalah letak cahaya. Bukan pada hasil evaluasi, tetapi pada dedikasi diam-diam yang mereka pilih ulang setiap hari.

Para penulis studi ini menutup temuan mereka dengan seruan yang sederhana, tapi mendesak: hormati kemanusiaan para guru. Kurangi beban yang tak masuk akal. Hentikan normalisasi kerja hingga larut malam. Dan di atas segalanya, dengarkan mereka.

Dalam dunia yang bergerak terlalu cepat, para guru mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dan memperhatikan. Untuk menyadari bahwa pekerjaan mendidik bukanlah soal menyampaikan pengetahuan, tapi menyalakan cahaya. Meskipun kecil, meskipun sesekali. Dan barangkali, itu cukup.

Karena kadang, sesekali, ada cahaya yang menyelinap di sela-sela retakan dinding kelas. Dan ketika itu terjadi, seorang guru tahu, dalam sunyi dan lelahnya, bahwa ia masih dibutuhkan. Bahwa ia masih berarti.

Dan mungkin itu, justru itu, yang membuat mereka tetap tinggal.


Posting Komentar