Planet yang Tak Pernah Diajarkan
Suatu hari di ruang kelas, seorang anak menggambar sebuah planet. Planet itu bukan Mars, bukan pula Bumi. Ia menamakannya Empathia, tempat di mana satu-satunya hukum adalah mendengarkan dengan hati. Gurunya tersenyum, lalu bertanya: “Apa yang ada di sana?” Anak itu menjawab, “Tempat semua orang tahu rasanya jadi yang ditinggalkan.”
Kita hidup dalam zaman yang terus menanyakan nilai angka, tetapi jarang menanyakan nilai manusia. Kurikulum, seperti peta tua yang diwariskan, terlalu lama membimbing kita hanya menuju capaian kognitif. Kita diajarkan menjumlahkan bilangan, tapi tidak pernah menghitung luka yang tidak terlihat. Kita diminta menulis narasi, tapi tidak pernah diajak menyusun empati.
Lalu datanglah sesuatu yang berbeda: sebuah permainan yang bukan sekadar permainan. Ia memakai ruang angkasa bukan untuk melarikan diri dari kenyataan, tapi untuk melihat bumi dari kejauhan, agar kita bisa menemukan yang selama ini terlalu dekat untuk disadari. Bahwa belajar adalah juga menjadi manusia.
Anak-anak tidak diberi perintah untuk menjadi baik. Mereka tidak dihukum bila lupa membantu. Mereka hanya diajak bertanya: “Apa yang akan kau lakukan jika temanmu tertinggal di permainan?” Bukan untuk mencari jawaban yang benar, tapi untuk menemukan suara dalam diri mereka sendiri.
Dan mungkin inilah yang paling radikal dari semuanya: tidak ada skor, tidak ada lencana, tidak ada kompetisi. Tidak ada sistem poin yang memberi peringkat siapa yang paling peduli. Karena kasih sayang bukan untuk diperingkatkan. Ia hanya tumbuh jika dirawat dalam keheningan, dalam jeda antara satu tugas dan tugas lain, ketika seorang anak berhenti menulis dan mulai bertanya, “Apakah aku telah cukup mendengar?”
Dalam dunia yang gemar mencatat, kurikulum ini justru menawarkan lupa. Lupa sejenak tentang ujian akhir, tentang akreditasi, tentang apa yang bisa diukur. Sebagai gantinya, ia mengajarkan kehadiran. Sebuah kehadiran yang tidak terburu-buru.
Mungkin, seperti kata seorang anak dalam refleksi mereka: “Rasanya seperti petualangan, tapi dengan perasaan.” Dan dalam kalimat itu, terselip sebuah pengakuan bahwa pembelajaran terbaik bukanlah yang hanya membuat kita tahu lebih banyak, tapi yang membuat kita merasa lebih dalam.
Para guru, dalam kesaksian mereka, menyebutnya “berbeda.” Tapi yang berbeda itu bukan teknologinya, bukan Microsoft Forms atau Canva. Yang berbeda adalah keberanian untuk mengajukan pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan benar atau salah: “Apa artinya menjadi teman?” “Bagaimana rasanya ditolong tanpa diminta?”
Dan mungkin di sanalah letak harapan: dalam kesediaan kita untuk mengubah kurikulum dari sekadar apa yang harus dipelajari menjadi siapa yang sedang tumbuh. Pendidikan, akhirnya, bukan hanya tentang menyiapkan anak-anak untuk masa depan. Ia juga tentang membekali mereka untuk hadir, di sini, sekarang, bersama yang lain.
Di akhir perjalanan permainan itu, anak-anak diminta menulis pledges, janji-janji kecil yang mereka buat untuk dunia yang lebih baik. Satu anak menulis, “Aku janji akan melihat orang yang duduk sendirian di kantin.” Tak ada kata-kata besar, tak ada deklarasi kebajikan universal. Hanya sebuah niat. Dan di dalam niat itu, mungkin, ada dunia yang sedang dilahirkan.
Karena seperti bintang-bintang, yang tampak kecil dari jauh tapi sejatinya menghangatkan semesta, kebaikan tak perlu bising untuk menjadi terang.
Dan mungkin tugas kita bukan lagi membuat kurikulum yang lebih kompleks, tapi lebih manusiawi.
Mungkin kita hanya perlu mengajarkan satu hal yang sudah lama dilupakan: bahwa di antara rumus dan paragraf, ada planet-planet yang tak pernah diajarkan. Tempat di mana menjadi baik itu cukup.
Posting Komentar