Persahabatan di Antara Kursi-Kursi Sekolah
Di sebuah kelas yang senyap selepas bel istirahat berdentang, seorang anak berdiri di dekat jendela. Ia menatap keluar, bukan mencari langit, tapi menghindari keramaian yang tak bisa ia masuki. Di dunia anak-anak, di mana persahabatan tumbuh secepat semak liar, tak semua semak berbunga. Sebagian hanya menjadi semak sepi.
Saya teringat pada masa sekolah saya sendiri. Pada seorang teman yang duduk di sudut dan selalu membawa bekal yang tak disentuh siapa pun. Kami menyebutnya “pendiam”. Tapi kami tidak tahu bahwa ia sedang menunggu seseorang, bukan untuk bicara, tapi untuk duduk bersamanya tanpa mengajukan pertanyaan.
Kita sering lupa: sekolah bukan hanya tempat belajar membaca, berhitung, atau menghafal nama-nama planet. Sekolah adalah ruang di mana kita pertama kali belajar menjadi bagian dari sesuatu. Ia adalah tempat pertemuan antara "aku" dan "kami". Dan celah di antara keduanya, celah antara kesendirian dan kebersamaan, itulah yang coba dijembatani oleh program bernama FRIEND-SHIP.
Dalam diam guru mencatat: sebelum program dimulai, kelas adalah kumpulan pulau-pulau. Ada anak yang lebih suka menyendiri, ada yang menjadi pusat lingkaran tapi juga pusat ketegangan. Pertengkaran adalah bahasa yang lumrah, dan seringkali, kata "maaf" datang terlambat. Tapi setelah enam minggu, sesuatu bergeser perlahan, hampir tak terasa. Seperti musim semi yang tak pernah benar-benar terdengar saat datang.
Seorang guru menulis dalam catatannya bahwa ia melihat siswa yang tadinya duduk sendiri mulai bermain dengan anak lain yang dulu asing baginya. Tak ada pengumuman besar. Tak ada pidato. Hanya permainan sederhana, cerita tentang emosi, dan pengakuan jujur seperti: “Aku marah karena aku merasa tidak dianggap.”
Sebab sering kali, dunia anak-anak dipenuhi perasaan yang belum punya bahasa. Mereka marah, tapi tidak tahu itu namanya kecewa. Mereka menyendiri, tapi tidak tahu itu artinya takut ditolak. Di sinilah FRIEND-SHIP masuk, bukan dengan menyuruh mereka menjadi baik, tapi mengajari mereka mengenali diri sendiri dan yang lain. Bukan mengajarkan moral, tapi menghadirkan cermin dan telinga.
Saya bertanya-tanya: mengapa empati tidak pernah menjadi mata pelajaran wajib? Mengapa kita tak pernah diuji tentang cara mendengarkan atau tentang kejujuran yang tak menyakitkan? Bukankah kemampuan untuk memahami dan dipahami adalah pondasi dari semua yang kita sebut “pendidikan”?
Dalam sebuah cerita kecil dari laporan itu, ada anak yang mengatakan pada temannya: “Hei, itu nggak enak kalau kamu bilang gitu.” Dan temannya menjawab: “Iya, maaf, aku cuma lagi kesal.” Bagi sebagian orang dewasa, ini hanya dialog sederhana. Tapi bagi anak-anak, ini adalah pelajaran tentang menjadi manusia. Tentang tidak menekan emosi, tapi mengakuinya dan menyampaikannya tanpa melukai.
Dan guru? Mereka pun berubah. Dalam proses membimbing anak-anak memahami emosi, mereka sendiri mulai lebih peka pada perasaan murid yang diam, atau yang terlalu cerewet, atau yang duduk paling belakang. Mereka tak lagi hanya pengajar, tapi penjaga ruang emosi.
Namun seperti semua pelayaran, FRIEND-SHIP pun menghadapi ombak. Waktu yang terbatas, kurikulum yang padat, dan keraguan apakah enam minggu cukup untuk mengubah pola pikir. Seorang guru berkata bahwa dampaknya terasa, tapi bisa memudar bila tak diulang. Mungkin benar. Persahabatan pun butuh pemeliharaan.
Tapi seperti benih yang ditanam dan mulai tumbuh, akar kecil yang merekah dalam enam minggu itu, tentang saling mengerti, tentang memilih kata, tentang duduk bersama seseorang yang berbeda, mungkin akan menjadi pohon-pohon yang suatu hari memberi teduh di dunia yang sering keras pada kelembutan.
Di akhir tulisan ini, saya kembali membayangkan anak itu, yang berdiri di dekat jendela. Mungkin sekarang, setelah perahu FRIEND-SHIP berlabuh di kelasnya, ada yang menghampiri. Bukan untuk mengajaknya bicara, tapi untuk berdiri bersamanya. Menyusulnya dalam diam. Sebab persahabatan kadang dimulai bukan dari kata, tapi dari keberanian untuk duduk di sebelah seseorang yang tampak sendiri.
Dan bukankah itu juga pelajaran paling sulit dalam hidup? Bahwa menjadi bagian dari sesuatu tidak harus menjadi pusatnya. Bahwa hadir, dengan segenap empati, adalah bentuk cinta yang paling sederhana.
Dan bahwa sekolah, sebelum mengajarkan dunia, seharusnya terlebih dahulu mengajarkan tentang sesama.
Posting Komentar