Peristiwa yang Tak Pernah Sama
Satu kali saya berdiri di depan cermin, mencoba mengingat wajah sendiri. Cermin memberi bayangan, tapi bukan kepastian. Seperti pendidikan yang seringkali mencerminkan, tetapi jarang menjawab, apa yang sesungguhnya terjadi dalam ruang belajar. Di situ, gagasan Lee J. Cronbach berdiri, tidak sebagai hakim, tetapi sebagai saksi yang terus bertanya: Apakah kita sungguh-sungguh memahami keberagaman manusia ketika kita mendidik?
Cronbach bukanlah seorang pencinta angka yang beku. Ia adalah penyair dalam dunia evaluasi. Ia menyentuh dunia psikometri, tetapi hatinya berpaling pada sesuatu yang lebih lunak, lebih cair: konteks. Ia percaya bahwa belajar bukanlah proses mekanik yang bisa dibekukan dalam angka reliabilitas atau validitas. Belajar adalah denyut hidup, penuh perbedaan, penuh ketakterdugaan. Seperti hujan yang turun tak pernah seragam di setiap daun.
Ia menulis bahwa pendidikan harus memperhatikan apa yang terjadi di dalam kelas, bukan hanya apa yang bisa dihitung dari luar. Kita terlalu lama menatap grafik, lupa pada wajah-wajah anak yang duduk dalam diam, yang gelisahnya tak bisa dicatat dalam skor.
Cronbach mengingatkan kita bahwa penilaian tak bisa lepas dari konteks. Dua anak bisa menjawab soal yang sama, tapi dengan kisah hidup yang berbeda. Dan jawaban mereka, bahkan kesalahan mereka, membawa makna yang tak bisa dihapuskan oleh koreksi tinta merah. Ia mengajak kita keluar dari keyakinan bahwa ada satu cara untuk memahami kecerdasan, satu alat untuk mengukur keberhasilan.
Bukankah itu seperti hidup?
Seorang ibu bisa menyuapi tiga anak dengan cara berbeda. Yang satu disuapi dengan cerita, yang lain dengan nyanyian, dan yang terakhir dengan diam. Masing-masing kenyang, meski caranya tak sama. Pendidikan, kata Cronbach, seharusnya seperti itu: tak seragam, tetapi setia.
Ia pun menolak dikotomi antara penelitian eksperimen dan studi lapangan. Yang satu menawarkan kontrol, yang lain menyodorkan realitas. Ia tak memilih di antaranya. Ia membangun jembatan bahwa untuk memahami manusia, kita perlu keduanya. Ilmu tak bisa memihak. Karena hidup terlalu kompleks untuk disederhanakan, dan manusia terlalu kaya untuk diredam dalam rerata statistik.
Saya teringat pada para guru di desa-desa, yang mengajar dengan perasaan, bukan kurikulum. Mereka mungkin tak tahu istilah meta-analisis, tapi mereka tahu siapa anak yang kelaparan. Mereka mungkin tak pernah membaca jurnal internasional, tapi mereka tahu kapan seorang murid kehilangan semangat. Itulah konteks. Itulah realitas yang Cronbach perjuangkan.
Ia ingin evaluasi bukan menjadi alat penghakiman, melainkan cermin yang manusiawi. Ia menulis bahwa kita harus ‘membuat penelitian yang melayani kehidupan, bukan sebaliknya’. Sebab hidup adalah ruang gerak, bukan laboratorium. Dan pendidikan adalah taman dengan banyak bunga, bukan pabrik dengan satu jenis hasil.
Di titik ini, saya merasa Cronbach bukan hanya seorang ahli pengukuran. Ia adalah pemikir tentang keadilan dalam pendidikan. Sebab keadilan bukan memberi yang sama pada semua orang, tapi memberi yang dibutuhkan oleh setiap orang. Ia adalah suara yang menentang keseragaman demi nama efisiensi. Ia adalah tangan yang meraba denyut anak, bukan hanya mengukur prestasinya.
Tentu, tidak mudah menjadi Cronbach di tengah dunia yang mencintai angka dan rangking. Dunia yang lebih percaya pada angka 90 ketimbang puisi yang ditulis di ujung buku tulis. Tapi ia tetap menulis, tetap berbicara, tetap berdiri di tengah kebisingan itu. Ia mengingatkan bahwa anak-anak bukan statistik, bahwa pendidikan bukan kompetisi tanpa akhir, dan bahwa evaluasi seharusnya menjadi jendela, bukan jeruji.
Satu kali, seorang murid saya bertanya mengapa ia harus mengikuti ujian nasional. Ia bilang, "Saya tak pandai matematika, tapi saya bisa merakit radio dari sisa alat elektronik." Saya tak bisa menjawabnya dengan angka. Saya hanya menepuk pundaknya, dan merasa bahwa dunia harus mendengar Cronbach lebih banyak lagi.
Kini, ketika evaluasi menjadi industri, ketika sekolah berlomba-lomba pada skor, kita perlu membaca ulang Cronbach. Bukan untuk mencari rumus baru, tetapi untuk mengingat bahwa di balik setiap data, ada cerita. Di balik setiap skor, ada anak. Dan di balik setiap kurva normal, ada kehidupan yang tak normal-normal saja.
Seperti cermin yang tak pernah benar-benar menangkap seluruh wajah, setiap evaluasi adalah potongan, bukan keseluruhan. Tapi jika kita mau jujur, mau melihat lebih dalam, mungkin kita bisa mulai merancang cara menilai yang lebih adil, lebih peka, lebih manusiawi.
Mungkin saat itu, pendidikan tak lagi menjadi ruang yang menyesakkan, tapi menjadi taman yang membebaskan.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar