Perempuan yang [Tidak Mau] Diam
Suatu pagi yang sepi di London, Mary Wollstonecraft pernah menulis kalimat yang tak akan lekang oleh waktu: I do not wish them [women] to have power over men; but over themselves. Bukan kekuasaan atas laki-laki yang ia inginkan. Bukan supremasi satu atas lainnya. Tapi kuasa atas diri. Sebuah pernyataan yang, pada zamannya, terdengar seperti hujan batu yang mengguyur kaca patri gereja: mengejutkan, menyakitkan, dan membangunkan.
Mary lahir dari rahim abad ke-18, sebuah zaman yang menyukai akal, tetapi tak sepenuhnya menyukai perempuan yang berpikir. Ia menulis di saat suara-suara perempuan dianggap gangguan; saat tubuh mereka dilatih untuk diam, tunduk, dan bersolek menjadi bunga di ruang tamu, bukan obor di tengah jalan. Ia, sebaliknya, menyalakan api.
Pendidikan, menurut Mary, bukan sekadar alat pelatihan perilaku. Ia adalah medan perjuangan untuk kemerdekaan jiwa. Bagi perempuan, pendidikan bukan untuk menjadi penghibur cerdas di ruang makan para bangsawan, melainkan untuk menjadi manusia utuh yang mampu berpikir, memilih, dan mempertimbangkan dunia. Ia tak hendak memahat perempuan menjadi patung moral atau pendamping lelaki semata. Ia ingin mereka menjadi manusia.
Saya teringat seorang ibu tua di sebuah desa, yang saban malam mengeja abjad di kertas lusuh demi bisa membaca nama anaknya di surat kabar. Ia tak tahu siapa Mary Wollstonecraft. Tapi dalam dirinya ada percikan api yang sama. Keinginan untuk mengerti. Untuk tidak diam. Di wajah-wajah seperti dialah ide-ide Wollstonecraft menemukan rumah baru, bukan di perpustakaan, tapi di kenyataan hidup.
Wollstonecraft percaya, jiwa manusia dibentuk oleh pengalaman dan refleksi, bukan jenis kelamin. Ia melawan filsafat Rousseau yang saat itu begitu dominan, yang menempatkan perempuan sebagai hiasan dalam narasi pendidikan. Rousseau memang bicara kebebasan, tapi hanya untuk laki-laki. Mary menjawabnya: kebebasan tidak mengenal jenis kelamin. Jika pendidikan membentuk kebebasan, maka perempuan harus ikut serta sejak awal. Dari bangku kayu di kelas paling kumuh hingga kursi pemikir di ruang publik.
Dalam filsafat pendidikan Mary, kebajikan bukanlah anugerah alam. Ia adalah hasil latihan akal dan moral. Perempuan yang tidak diberi kesempatan berpikir tidak akan mampu menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Maka, diskriminasi pendidikan bukan hanya soal ketidakadilan individual. Ia adalah ancaman bagi masyarakat itu sendiri.
Apa yang membuat gagasan Mary tetap relevan hari ini, ketika sekolah telah terbuka bagi semua? Mungkin jawabannya adalah ini: karena sistem selalu bisa berganti rupa, tapi tak selalu berganti jiwa. Perempuan boleh masuk universitas, tapi masih sering dididik untuk melayani, bukan memimpin. Untuk patuh, bukan bertanya. Untuk berkompromi, bukan menggugat. Dan karena itu, suara Mary masih harus kita dengarkan.
Ia tidak hanya bicara hak. Ia bicara tentang kekuatan berpikir sebagai jalan keluar dari subordinasi. Tentang bagaimana akal, jika diberi ruang, akan menumbuhkan martabat. Pendidikan, kata Mary, haruslah membentuk manusia yang berani berpikir dan bertanggung jawab atas pikirannya. Ia bukan sekadar mengisi kepala, tapi mengukir keberanian dalam jiwa.
Di akhir hidupnya, Mary mati dalam kesunyian dan kemiskinan, setelah melahirkan Mary Shelley yang kelak menulis Frankenstein. Seolah warisan itu terus menyala. Dari ibu ke anak, dari tinta ke dunia.
Dan kini, ketika kita menyebut namanya, bukan hanya sebuah nama yang hidup. Tapi seluruh semangat yang menolak diam. Yang percaya bahwa berpikir adalah hak asasi. Dan bahwa pendidikan bukanlah milik laki-laki, perempuan, atau siapa pun secara eksklusif. Ia adalah milik setiap jiwa yang ingin bebas.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar