Orang Tua, Bahasa, dan Percikan Diam
Ada yang tumbuh diam-diam, seperti bunga liar di sela-sela batu. Ia tidak diajarkan untuk mekar. Ia tidak diperintah untuk wangi. Ia sekadar menemukan jalannya. Begitulah barangkali ketertarikan seorang anak pada sesuatu, bahasa asing misalnya, tak selalu berawal dari perintah, melainkan dari percikan kecil yang kadang tanpa suara.
Dalam satu sudut kota di Indonesia, sebuah penelitian membisikkan kisah-kisah sederhana tentang empat anak dan orang tua mereka. Mereka semua belajar bahasa Inggris, di ruang-ruang kelas yang sama, di bawah langit yang sama. Namun mengapa sebagian dari mereka mekar, sementara yang lain tetap diam di tempat?
Ario, misalnya, menyukai bahasa Inggris sejak ia bahkan belum tahu bagaimana menulis dengan benar. Baginya, bahasa itu adalah pintu yang hendak dibuka. Di rumah, ayah dan ibunya tidak hanya menjadi pengawas, mereka menjadi teladan. Mereka mengajak Ario membaca, bermain, menonton, dalam bahasa yang bukan ibunya. Mereka tak sekadar menuntut, mereka ikut berlari. Di rumah mereka, bahasa Inggris tidak terasa seperti tugas; ia hadir seperti udara yang dihirup bersama. Dan Ario tumbuh dengan gagasan bahwa ia ingin pergi, menyeberangi lautan, menggapai dunia.
Elisa, berbeda. Bahasa Inggris, pada awalnya, baginya hanyalah kewajiban yang dibisikkan ibunya, seperti daftar belanja yang harus selesai. Tapi perlahan, sesuatu berubah. Barangkali ada celah kecil yang terbuka ketika ia belajar bahwa bahasa itu bukan sekadar alat, melainkan jembatan menuju cita-cita: menjadi seorang dokter yang bisa berkeliling dunia. Ada saat ketika ketertarikan itu bukan datang dari dalam, melainkan dari upaya orang tua yang sabar menyalakan lilin satu per satu di lorong yang gelap.
Lalu ada Hana. Ia belajar, ia mendapatkan nilai yang cukup baik, tapi bahasa Inggris tak pernah benar-benar menjadi taman yang ia sukai. Orang tuanya, yang sibuk dan lelah, hanya sempat menyediakan buku dan sesekali dorongan. Mereka percaya bahwa anak-anak tidak perlu dipaksa. Biarlah Hana bermain, menjadi anak-anak sepenuhnya. Tapi mungkin, di sanalah Hana berhenti. Ia mengerjakan tugas, ia memenuhi harapan, tetapi ia tidak pernah benar-benar menemukan makna.
Barangkali memang seperti itu. Bahwa cinta pada sesuatu, minat pada sebuah bidang, tidak cukup hanya dengan menyediakan buku dan ruang belajar. Ada percikan yang harus dinyalakan, dengan teladan, dengan keterlibatan, dengan dialog yang sabar dan penuh kehadiran. Seperti menyalakan api kecil di kegelapan. Jika tidak ditiup, ia akan padam. Jika terlalu ditiup, ia akan hilang. Begitu rapuh, begitu halus.
Penelitian ini seperti cermin yang memantulkan betapa besar tangan orang tua dalam membentuk dunia anak-anak mereka, seringkali tanpa mereka sadari. Kita mungkin mengira bahwa sekolah adalah segalanya, bahwa guru adalah pusat. Namun ternyata, dinding-dinding kelas hanyalah sebagian kecil dari panggung yang sesungguhnya. Di rumah, di antara waktu makan malam, di sela permainan, dalam perjalanan pulang, di sanalah benih-benih minat ditanam atau diabaikan.
Tentu, tak semua anak butuh api besar. Ada yang cukup dengan cahaya remang, ada yang harus dipeluk dengan harapan tinggi, ada pula yang justru tumbuh ketika dibiarkan memilih jalannya. Tapi bukankah tugas orang tua adalah hadir? Bukan hadir sebagai pengatur, tapi sebagai lentera.
Kisah empat anak ini bukan semata tentang bahasa Inggris. Ia adalah tentang bagaimana anak-anak belajar mencintai sesuatu. Tentang bagaimana orang tua, kadang tanpa sadar, menjadi pintu yang dibuka atau yang dikunci.
Di luar dinding kelas, kehidupan berjalan. Dan di sanalah, pelajaran yang sesungguhnya seringkali dimulai.
Posting Komentar