ZMedia Purwodadi

Moral dari Sebuah Dinding Bata

Table of Contents

Seorang anak berdiri di depan sebuah bangunan tua yang dindingnya ditumbuhi lumut. Tangannya meraba bata-bata merah yang retak, berderet tak sempurna, namun justru di situlah keindahannya bersembunyi: pada keteraturan yang tak seragam, pada ketidaksempurnaan yang jujur. Mungkin tanpa ia sadari, anak itu sedang menapaki pelajaran paling dalam yang pernah diajarkan John Ruskin: bahwa keindahan bukan hasil dari mesin yang tanpa jiwa, melainkan dari tangan manusia yang bernapas, yang berbuat, yang mencipta, sekaligus keliru.

Ruskin, seorang seniman, kritikus, dan moralist, bukanlah pendidik dalam pengertian konvensional. Tapi justru dari celah itulah ia berbicara tentang pendidikan, bukan sebagai sistem, tapi sebagai gema dari kebudayaan, dari cara kita bekerja, membangun, dan hidup. Pendidikan, baginya, tak bisa dilepaskan dari moralitas, dari pertanyaan yang sederhana namun berat: “Untuk apa semua ini dilakukan?” Bila sekolah hanyalah tempat mentransfer informasi, maka ia tak lebih dari pabrik rohani yang dingin. Tetapi bila ia menjadi tempat di mana manusia belajar menjadi manusia, maka di situlah pendidikan menjadi sakral.

Bayangkan sebuah jendela gotik, kata Ruskin, dengan lengkungan-lengkungannya yang tak simetris, tapi justru hidup. Tak seperti hasil pabrik yang steril, jendela ini dibuat oleh tangan tukang batu yang merdeka, bukan dalam pengertian bebas berbuat apa saja, tapi dalam makna terdalam: diberi ruang untuk berkreasi, beriman pada keahlian, dan bertanggung jawab. Di dalam proses itu, si tukang tak sekadar membangun gedung, tapi juga membangun dirinya. Di sinilah Ruskin menyematkan gagasannya tentang “joy in labour”, kebahagiaan dalam kerja yang bermakna.


Pendidikan, menurut Ruskin, mestinya membentuk manusia yang mampu melihat dunia secara utuh, bukan hanya sebagai konsumen, tapi sebagai makhluk yang turut merawat dan membentuknya. Dalam dunia yang bergerak menuju industrialisasi, di mana manusia semakin menjadi bayangan dari mesinnya sendiri, Ruskin justru mengajukan pertanyaan yang radikal: Apakah kita sedang membangun peradaban, atau justru menghancurkannya dalam ketidaksadaran massal?

Di sinilah ia berbeda dari banyak pemikir pendidikan sezamannya. Ia tak percaya pada netralitas ilmu. Ia menolak dikotomi palsu antara estetika dan etika. Bagi Ruskin, mendidik bukan hanya mengisi kepala, tapi membentuk hati dan tangan. Seorang arsitek yang baik bukan hanya tahu bagaimana merancang bangunan, tapi juga mengerti nilai dari ruang yang ia ciptakan, bahwa ruang itu akan ditinggali oleh manusia yang bisa merasa sedih, gembira, kesepian.

Maka, seperti tukang batu yang menata bata demi bata dengan cinta, seorang pendidik juga sedang membangun sesuatu yang lebih besar dari kurikulum. Ia membangun kebiasaan melihat, menyentuh, dan memaknai dunia dengan kepekaan. Di sinilah muncul satu lagi gagasan Ruskin yang kuat: to see clearly is poetry, prophecy, and religion all in one. Melihat dengan jernih, bukan sekadar memandang, adalah inti dari pendidikan yang sejati.

Ada sebuah cerita yang selalu kembali ke benak saya saat membaca Ruskin: tentang seorang anak kecil yang diajak ayahnya menanam pohon. Si anak bertanya, “Kapan pohon ini akan tumbuh besar?” Sang ayah menjawab, “Mungkin kita takkan pernah melihatnya besar. Tapi anakmu mungkin akan duduk di bawah bayangannya nanti.”

Cerita itu sederhana, tapi mengandung inti dari harapan Ruskin: bahwa pendidikan bukan untuk hari ini, atau sekadar untuk pasar kerja esok pagi. Ia adalah kerja jangka panjang, kerja generasi. Ia adalah akar yang mungkin tak kita lihat berdaun, tapi tanpanya dunia kehilangan masa depannya.

Ruskin menolak konsep utilitarian dalam pendidikan, bahwa segala hal harus diukur dari hasil ekonomi, dari efisiensi, dari cepat atau lambatnya balik modal. Ia ingin pendidikan kembali menjadi seni: proses perlahan, tak seragam, namun berakar pada kebaikan. Seorang tukang yang buruk adalah ia yang membangun dinding agar selesai. Seorang tukang yang baik membangun dinding agar ia tahan puluhan tahun, agar ia indah bahkan setelah yang membuatnya mati.

Hari ini, ketika algoritma mengajarkan kita berpikir cepat dan lupa dalam hitungan detik, Ruskin terasa seperti suara dari zaman lain. Tapi justru karena itulah ia penting. Ia adalah pengingat bahwa pendidikan adalah cara kita merawat makna. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia bukan soal efisien atau kaya, tapi soal mampu mencintai dunia, bahkan dalam hal-hal kecil: pada cara kita menulis, menyapu lantai, membangun jembatan, atau menemani anak-anak belajar.

Mungkin itu sebabnya saya teringat pada dinding bata yang lumutan tadi. Dalam keheningan yang tumbuh di sela-sela retaknya, saya seperti mendengar suara Ruskin berkata: lihatlah dengan hati, sentuhlah dengan kesadaran, dan bangunlah sesuatu yang akan tetap hidup bahkan ketika kamu sudah tak ada.

Karena pendidikan, seperti dinding tua itu, bukan soal sempurna. Ia soal setia.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar