ZMedia Purwodadi

Mereka yang Datang dari Perang

Daftar Isi

Ada yang berpindah bukan karena ingin. Ada yang berjalan jauh, menembus perbatasan, menembus bahasa, karena rumah mereka hilang dalam kepulan asap. Anak-anak itu datang membawa sisa-sisa reruntuhan, bukan di tangannya, tapi di matanya; mata yang pernah menyaksikan ledakan terlalu dekat, kehilangan terlalu cepat.

Mereka tiba di ruang-ruang kelas di Polandia, bukan sebagai pelancong, bukan sebagai tamu, tapi sebagai manusia yang kehilangan tanahnya. Bangku-bangku sekolah yang dulu mungkin hanyalah benda mati, kini menjadi perahu-perahu kecil yang mereka tumpangi, terombang-ambing di samudra bahasa yang asing.


Seorang guru mungkin mengira, pelajaran pertamanya adalah alfabet. Tetapi, tidak. Pelajaran pertama bagi anak-anak itu adalah bertahan. Bertahan untuk hadir, duduk diam, meski pikiran mereka terus mengembara ke reruntuhan kota asal, ke ayah yang tertinggal, ke boneka yang tak sempat dibawa.

Para guru Polandia, yang tak pernah dibekali untuk perjumpaan semacam ini, kini berdiri di persimpangan: mengajarkan kata atau mengajarkan pelukan. Mengajarkan tata bahasa atau mengajarkan keberanian untuk kembali tersenyum. Di hadapan mereka, buku pelajaran kehilangan suara, kata-kata menjadi terlalu keras atau justru terlalu jauh untuk dijangkau.

Ada seorang anak perempuan yang menolak menyebutkan namanya. Mungkin karena dalam namanya ia menyimpan seluruh cerita yang terlalu berat untuk dibagikan. Mungkin karena nama itu terasa asing bagi dirinya sendiri dalam ruang yang tidak mengenal masa lalunya. Dalam diamnya, ia mengajarkan sesuatu: bahwa kadang, yang perlu kita pelajari bukanlah namanya, melainkan sunyinya.

Bahasa menjadi tembok, tetapi juga bisa menjadi jembatan. Namun, sebelum sebuah kata menjadi jembatan, ia terlebih dahulu menjadi labirin. Anak-anak itu tersesat dalam tanda baca, dalam aturan yang tidak mereka pahami. Mereka berjalan pelan, kadang berhenti, kadang berbalik arah. Dan para guru pun tersesat bersama mereka; tersesat, tetapi terus mencari.

Guru-guru itu belajar dari patah. Mereka mulai mengerti, bahwa sebuah kelas tidak selalu harus dipenuhi hafalan. Bahwa makna bisa hadir dalam permainan kecil di halaman, dalam gambar yang tak sempurna, dalam lagu yang dinyanyikan tanpa benar-benar tahu artinya. Di sana, dalam kesederhanaan itu, pelan-pelan mereka menemukan bahasa yang lebih dalam: bahasa kemanusiaan.

Tentu, tidak semua anak mau bermain. Beberapa memilih menyendiri, menarik garis tak kasat mata antara dirinya dan yang lain. Dan siapa yang bisa menyalahkan? Bukankah luka itu seperti itu? Ia meminta waktu, ia takut disentuh. Mereka, anak-anak perang itu, mungkin tak sedang butuh jawaban, hanya butuh ruang yang tidak memaksa mereka untuk menjelaskan mengapa mereka berbeda.

Para guru, perlahan, menjadi saksi dari cerita-cerita kecil yang tak selalu terucap. Mereka menjadi penerjemah keheningan. Mereka tahu, bahwa seorang anak yang duduk di pojok dan tak berkata apa-apa pun sedang bicara; hanya saja dengan bahasa yang belum kita pelajari.

Ada yang mencoba menjembatani dengan kegiatan bersama, ada yang mengadakan perayaan kecil agar semua merasa menjadi bagian. Tetapi, sebagaimana perang, upaya itu tak selalu berhasil. Ada hari ketika usaha terasa sia-sia, ketika anak-anak itu memilih tetap tinggal di dunianya sendiri, jauh dari suara Polandia. Ada hari ketika kegagalan terasa terlalu akrab.

Namun mungkin, dalam ketidaklengkapan itulah letak kebenaran dari pendidikan: bahwa mendekatkan dua dunia yang remuk bukan tentang keberhasilan penuh, tapi tentang keberanian untuk mencoba meski tahu kita akan terus terantuk.

Barangkali, pendidikan bagi anak-anak pengungsi bukan tentang mengejar ketertinggalan, bukan tentang menyamakan capaian, tapi tentang menjadi ruang aman bagi langkah-langkah kecil yang gentar. Tentang menjadi rumah sementara bagi mereka yang belum tahu akan pulang ke mana.

Anak-anak itu, mungkin akan lupa sebagian dari apa yang diajarkan para guru. Mereka mungkin tak ingat kapan mereka bisa membaca kalimat pertama dalam bahasa Polandia. Tetapi, mereka akan mengingat siapa yang tersenyum pada mereka ketika dunia sedang ambruk. Mereka akan mengingat siapa yang diam bersamanya ketika tak ada lagi yang bisa dikatakan.

Di situlah, mungkin, pendidikan menemukan wajahnya yang paling manusiawi: bukan pada rapor, bukan pada kurikulum, tetapi pada keberanian untuk tetap hadir. Dalam kata yang tidak selalu harus diucapkan. Dalam waktu yang tidak selalu harus diselesaikan.

Dan mungkin, seperti yang sering dikatakan waktu, segalanya memang tidak untuk segera dipahami. Sebagaimana luka. Sebagaimana rumah yang hilang. Sebagaimana anak-anak yang datang dari perang.


Sumber baca:

Posting Komentar