ZMedia Purwodadi

Menyulam Hutan yang Hilang

Daftar Isi

Seekor burung hantu diam di batang tua pohon ek. Ia tidak bicara, hanya mengamati. Ia menjadi saksi diam dari peradaban yang lupa caranya berbisik kepada bumi. Lalu, datanglah manusia, dengan sekop, harapan, dan sebuah proyek kecil: menanam kembali tanah yang pernah disobek oleh tambang. Tapi lebih dari sekadar tanah yang pulih, ada sesuatu yang bangkit dalam diri mereka yang mencangkul, yang menggali, yang menanam: kesadaran.

Ada kalanya pendidikan tak terjadi di kelas. Ia tak ditulis di papan tulis, tak dihafal untuk ujian. Ia terjadi di tengah hujan, di antara lumpur dan canda, ketika orang-orang asing bekerja bersama di lereng bukit yang nyaris dilupakan. Dalam kisah proyek “Reclaiming the Land”, pendidikan adalah sebuah perjalanan, bukan hasil. Ia adalah napas panjang dari mereka yang percaya bahwa perubahan bukan slogan, melainkan tindakan kecil yang terus dilakukan dengan tangan dan hati.

Mereka datang dengan alasan berbeda, mencari makna, petualangan, atau hanya jeda dari rutinitas. Namun pulang dengan sesuatu yang sama: rasa bahwa mereka bagian dari sesuatu yang lebih luas dari diri mereka. Seorang guru berkata ia ingin menjadi teladan. Seorang pensiunan merasa telah menemukan kembali rasa ingin tahu yang ia kira telah hilang. Seorang karyawan perusahaan menyadari bahwa “menanam pohon” bukan sekadar metafora, melainkan cara membangun kembali hubungan yang retak antara manusia dan bumi.


Ada paradoks dalam pendidikan lingkungan: kita belajar tentang kerusakan lebih dari perawatan. Kita dicekoki statistik tentang es yang mencair, spesies yang punah, udara yang kotor. Tapi kita jarang diajak menyentuh tanah, mencium aroma basah humus, mendengar detak lembut daun yang tumbuh. Dalam proyek-proyek seperti Earthwatch, para relawan menemukan bahwa harapan tumbuh dari aksi. Bukan dari kuliah panjang, tapi dari kebersamaan menggali lubang dan menanam masa depan.

Universitas, yang sering dikira menara gading, diundang turun dari ketinggian. Dalam kolaborasinya dengan LSM, ia mulai belajar kembali bagaimana membumikan ilmunya. Bukan dengan menggurui, tapi dengan mendengarkan. LSM seperti Earthwatch menjadi jembatan: antara teori dan praktik, antara warga dan akademisi, antara mimpi dan kenyataan. Mereka menjadi ruang tempat orang-orang dari berbagai latar belakang bertemu, bekerja, dan menyadari bahwa belajar adalah pengalaman yang menubuh.

Di balik semua ini, ada kesadaran yang pelan tapi pasti menyelinap ke dalam diri setiap peserta: bahwa kita tidak bisa terus hidup seolah bumi adalah latar, bukan rumah. Mereka membawa pulang lebih dari foto dan kenangan. Mereka pulang dengan gagasan bahwa tindakan kecil bisa menjadi gema perubahan. Mereka tidak mengubah dunia dalam seminggu. Tapi mereka mengubah cara mereka hidup di dalam dunia.

Dan mungkin di sanalah letak kekuatan pendidikan yang sejati. Bukan pada informasi yang ditransfer, tapi pada transformasi batin yang terjadi diam-diam. Pada rasa kagum yang kembali tumbuh. Pada relasi yang terjalin antarmanusia dan antara manusia dengan tanah. Pada kesadaran bahwa kita bisa memilih: menjadi penonton kerusakan atau menjadi bagian dari pemulihan.

Burung hantu itu masih diam. Tapi kini ia memandang sepetak kecil tanah yang mulai hijau kembali. Di sana, di antara tunas-tunas muda, harapan bersemi. Bukan karena janji-janji besar, tapi karena kerja sunyi orang-orang biasa yang percaya bahwa masa depan bisa ditanam. Dan bahwa belajar, pada akhirnya, adalah soal mencintai.


Sumber baca:

Posting Komentar