Menyimak Daun yang Bercerita
Suatu hari saya melihat seorang anak kecil menggambar pohon. Di atas kertasnya, ia menorehkan batang, daun, dan matahari yang tersenyum. Garis-garis itu sederhana, polos, nyaris seperti sketsa yang tidak selesai. Tapi mungkin, justru di situlah letak kejujuran: ia tidak sedang berusaha memetakan dunia, melainkan sedang menanyakan sesuatu yang lebih purba, bagaimana sebenarnya pohon itu hidup?
Ada yang kita lupakan: bahwa sebelum kita mempelajari teori, kita terlebih dahulu menggambar. Anak-anak tidak lahir dengan definisi, mereka lahir dengan coretan. Dalam coretan itu, tersimpan cara mereka memahami semesta. Dan barangkali, memahami adalah kegiatan yang jauh lebih lambat daripada menghafal.
Penelitian ini, yang memeriksa bagaimana anak-anak sekolah dasar di Malaysia memahami fotosintesis, memperlihatkan bahwa perjalanan pemahaman itu bukan garis lurus. Ia lebih menyerupai musim: kadang cerah, kadang redup. Pada usia tujuh tahun, anak-anak tahu bahwa pohon butuh air dan matahari. Tapi seperti mata yang baru belajar membedakan warna, mereka belum melihat bagaimana cahaya itu mengalir ke dalam daun, bagaimana air naik dalam batang, bagaimana makanan tercipta dalam keheningan yang tak tampak. Lalu usia bertambah, sekolah bertambah, kata-kata ilmiah masuk ke dalam kamus mereka: fotosintesis. Kata yang panjang, seperti mantra yang belum sepenuhnya dimengerti.
Saya teringat pada sebuah pohon di halaman rumah saya dulu. Pohon itu berdiri biasa saja. Tidak pernah saya tanyai bagaimana ia hidup. Saya hanya tahu, tiap pagi saya berlindung di bawahnya, dan tiap siang saya melihat burung bertengger di rantingnya. Pohon itu memberi, tanpa pernah menjelaskan prosesnya. Mungkin begitulah cara alam mengajar: diam-diam, lewat peristiwa sehari-hari.
Dalam penelitian ini, para peneliti menemukan bahwa gambar anak-anak menyimpan lebih banyak makna daripada yang tampak. Gambar itu tidak berhenti di garis. Ketika anak-anak diajak berbicara tentang apa yang mereka gambar, sesuatu terbuka: mereka mulai merangkai kata, mengingat pelajaran, menghubungkan apa yang mereka lihat dengan apa yang mereka dengar. Ternyata, gambar adalah jendela. Dan wawancara adalah pintu yang membukakan dunia mereka. Dalam proses itu, kita melihat bahwa pemahaman tidak selalu terletak pada apa yang tertulis, tapi pada bagaimana seorang anak bercerita.
Saya membayangkan, mungkin beginilah cara sebuah daun bercerita tentang dirinya: tidak dengan definisi, tapi dengan proses yang terus mengalir. Bahwa fotosintesis bukan hanya soal bagaimana matahari, karbon dioksida, dan air bertemu dalam klorofil. Tapi tentang bagaimana sebuah pohon, dalam kesabaran yang panjang, mengubah cahaya menjadi kehidupan.
Anak-anak dalam penelitian itu bergerak dari yang sederhana ke yang lebih rumit, meski jalannya berkelok. Pada usia sepuluh, pemahaman mereka mekar, mereka mulai bisa menyebutkan fotosintesis, meski masih samar letaknya di daun. Di akhir sekolah dasar, sebagian mulai menyusun rantai itu dengan lebih utuh: matahari, air, udara, klorofil, makanan. Mereka mulai mendekati simpul dari pertanyaan: bagaimana pohon hidup?
Tapi seperti halnya kita, pemahaman itu selalu punya celah. Anak-anak sering mencampuradukkan peran tanah, mengira makanan pohon berasal dari tanah, mengira air adalah makanan itu sendiri. Bukankah kita pun sering salah? Kita mengira pengetahuan adalah hafalan, padahal ia adalah pengalaman yang diresapi.
Saya pikir, mungkin yang dibutuhkan anak-anak bukan tambahan definisi, tapi ruang untuk bertanya. Ruang untuk menatap daun yang meneteskan embun, untuk menyentuh batang yang menyimpan aliran air. Karena belajar, pada akhirnya, bukan hanya tentang apa yang diajarkan, tapi juga tentang bagaimana kita memandang.
Seperti pohon yang tak pernah menjelaskan dirinya, tapi tumbuh dalam diam.
Dan anak-anak, barangkali, sedang belajar menjadi seperti itu: memahami lewat melihat, menggambar, dan bercerita, perlahan, seperti cahaya yang meresap ke dalam daun.
Posting Komentar