Menyentuh Jarak, Menyentuh Waktu
Ada sesuatu yang purba dalam pertanyaan itu: "Guys, guys, guys, do you think this is important?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir seorang anak, di tengah riuhnya meja sentuh dan layar video yang menghubungkan dua ruang kelas yang terpisah dua ratus mil jauhnya.
Seperti halnya bunyi lonceng kecil yang memanggil perhatian, pertanyaan itu tidak sekadar bertanya. Ia adalah pintu yang diketuk, sebuah isyarat tentang keinginan untuk didengar, untuk dipahami, untuk terhubung. Dalam dunia yang terjerat oleh kabel, sinyal, dan layar, barangkali kita lupa: belajar, pada dasarnya, adalah tentang menyentuh — bukan hanya benda, tetapi pikiran orang lain.
Anak-anak dalam studi ini memainkan sejarah, bukan seperti penghafal tanggal dan peristiwa, tetapi seperti penyusun puzzle yang bagian-bagiannya tersebar, sebagian di Cardiff, sebagian di London. Mereka menggeser, memperbesar, memutar potongan-potongan petunjuk di atas meja digital, dan kemudian, dengan satu gerakan ringan, flick, mereka melemparkannya ke ruang lain, ke meja lain, ke teman yang jauh, yang wajahnya hanya terlihat dalam bingkai kecil di layar. Sungguh ironis: di era di mana sentuhan sering digantikan oleh klik, di sini sentuhan justru menjadi bahasa. Gerakan jemari mereka adalah dialog. Gerakan itu menulis puisi yang tidak berbunyi.
Yang menarik, anak-anak itu tidak diajari cara berbicara untuk bekerja sama. Mereka tidak dilatih dalam diplomasi kecil atau strategi retoris. Namun, percakapan mereka justru dipenuhi oleh sabar yang lembut. Tidak ada debat yang memanas, tidak ada suara yang mendominasi. Mereka mengundang, mereka bertanya, mereka menunggu. Mereka tidak membangun menara ego, melainkan jembatan yang rapuh tetapi nyata. Mungkin teknologi, dengan segala kemudahannya, membebaskan mereka dari rebutan giliran bicara, membebaskan mereka dari dominasi siapa yang memegang alat. Semua orang bisa menyentuh, semua orang bisa menggeser. Dan dalam sentuhan itulah kesetaraan itu tumbuh.
Ada yang menarik tentang waktu di sini. Biasanya, dalam ruang kelas, waktu adalah garis lurus: soal diberikan, jawaban dicari, guru menilai. Tapi di ruang yang dihubungkan oleh video dan meja sentuh ini, waktu menjadi melingkar. Anak-anak dari kota yang berbeda membaca petunjuk, mendiskusikan, melemparkan kembali, dan membangun pemahaman secara berlapis. Mereka tidak terburu-buru. Bahkan kadang, mereka tidak segera mengumumkan bahwa mereka mengirim petunjuk. Mereka hanya melempar, seolah sudah ada kepercayaan bahwa yang lain akan mengerti kapan waktunya bicara, kapan waktunya mendengarkan.
Proses ini mengingatkan saya pada perbincangan tentang trialogic learning, di mana belajar tidak lagi hanya urusan monolog dalam diri, atau dialog antar manusia, tetapi juga melibatkan benda-benda, dalam hal ini, petunjuk yang diurutkan, diperbesar, dikecilkan, dipindahkan. Namun studi ini menawarkan sesuatu yang lebih: bahwa tidak hanya benda yang penting, tetapi juga gerak yang menghidupkan benda itu. Bukan hanya petunjuk yang dikumpulkan, tetapi bagaimana petunjuk itu dilemparkan, bagaimana mereka disambut. Dalam istilah yang lebih puitis, mungkin ini bukan sekadar trialogic, melainkan quadralogic: ketika manusia, teknologi, benda, dan gerak membentuk tarian belajar yang utuh.
Saya teringat pada sebuah lorong tua di museum, di mana para pengunjung menyentuh layar dan membuka kisah-kisah masa lalu yang tersembunyi. Anak-anak dalam studi ini seperti para kurator kecil yang menyingkap sejarah dengan ujung jari mereka. Namun, yang mereka temukan bukan hanya sebab-musabab kebakaran besar di London. Yang mereka temukan adalah cara untuk membangun makna bersama, bahkan dari jarak yang seharusnya membuat mereka asing satu sama lain.
Di tengah segala kecanggihan teknologi yang sering dipuja dengan berlebihan, penelitian ini justru mengajarkan sesuatu yang sederhana: bahwa teknologi tidak otomatis menciptakan pembelajaran yang baik. Ia hanyalah alat, seindah atau sesuram apa pun, tetap bergantung pada tangan yang memakainya. Dan tangan-tangan kecil dalam penelitian ini, dengan keluguan dan rasa ingin tahu mereka, berhasil memanfaatkan alat itu untuk menciptakan ruang bersama, untuk membangun jembatan yang tidak terlihat, yang menghubungkan lebih dari sekadar layar.
Kadang saya berpikir, barangkali pertanyaan itu, "Guys, guys, guys, do you think this is important?" bukan hanya milik anak-anak itu. Mungkin itu adalah pertanyaan kita semua, setiap kali kita mencoba menjangkau yang lain, setiap kali kita menggeser pikiran kita, melemparnya dengan harapan sederhana bahwa akan ada seseorang di seberang sana yang menangkap, membaca, dan menganggapnya penting.
Posting Komentar