Menyentuh Emosi, Menyentuh Belajar
Ada saat-saat di sekolah ketika suara tidak datang dari mulut anak, tapi dari matanya yang enggan bertemu. Ketika tawa tidak muncul bukan karena tidak lucu, tapi karena tidak ada tempat baginya untuk merasa hidup. Dan ada juga saat, ketika sesuatu yang kecil, mungkin sekadar mencicipi sepotong cokelat dari pabrik, menyulut tawa, menggugah semangat, mengendap dalam kenangan.
Sekolah, sering kali, bukan hanya tempat belajar. Ia adalah lanskap emosi. Tempat di mana rasa takut, semangat, bosan, gembira, dan malu hidup berdampingan. Anak-anak datang bukan hanya dengan buku catatan, tetapi juga dengan dunia dalam diri yang tak terlihat. Dunia itu adalah tempat riset ini melangkah masuk, membawa kamera kecil, dan meminta para siswa berkata, “Apa yang kamu rasakan sekarang?”
Video blogging, atau yang oleh para peneliti disebut sebagai instant video blogging (IVB), mungkin tampak sebagai instrumen teknologi. Tapi lebih dari itu, ia menjadi cermin. Bukan hanya memantulkan wajah, melainkan juga memperdengarkan suara hati, yang kadang terlalu pelan untuk didengar oleh guru di ruang kelas.
Kita menemukan tiga lanskap emosi.
Yang pertama: situasi tanpa otonomi. Pelajaran yang digerakkan guru, kegiatan yang dibatasi ruang, dan suara anak yang dikecilkan. Di sini, emosi pasif berkuasa: bosan, lelah, sekadar hadir. Belajar menjadi peran yang dimainkan, bukan pengalaman yang dijalani.
Yang kedua: aktivitas yang terstruktur. Ada rasa tertib, ada sketsa ikan yang menjadi patung tiga dimensi, ada sesi mencicipi sayur bersama pakar gizi. Di sini, emosi campur aduk: antara rasa ingin tahu dan rasa bingung, antara semangat dan kecanggungan. Ada harapan.
Dan ketiga: situasi luar biasa. Halaman sekolah, perjalanan lapangan, kilas balik dari pengalaman di luar kelas. Di sinilah tubuh ikut bicara: perut yang mual setelah terlalu banyak cokelat, tangan yang kotor karena berkebun, mata yang bersinar karena “ini seru banget.” Di sinilah emosi benar-benar hidup. Ia tidak diam dalam buku teks, ia melompat dari pengalaman langsung.
Yang mengejutkan: dari 188 rekaman, sebagian besar emosi adalah positif. Kesenangan, kegembiraan, kepuasan. Tapi tetap saja, bosan adalah peringkat kedua. Sebuah pengingat bahwa bahkan dalam kurikulum yang baik pun, pengalaman bisa kehilangan maknanya jika tidak terasa relevan bagi anak.
Lalu, apa sebenarnya yang sedang diajarkan?
Bahwa belajar bukan sekadar menyerap, tapi juga merasa. Bahwa sains tentang gizi bisa menyentuh pengalaman pribadi ketika dikaitkan dengan makanan yang mereka konsumsi. Bahwa pengenalan ikan bukan soal klasifikasi, tapi bisa menjadi soal menjalin kedekatan dengan alam. Bahwa yang paling diingat bukan angka di laporan, tetapi perjalanan ke pabrik roti, atau perasaan ketika merasa “aku penting karena pendapatku ditanya.”
Dan bahwa emosi adalah fondasi yang membentuk ingatan akan belajar.
Anak-anak tidak memisahkan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana mereka merasa saat mempelajarinya. Bagi mereka, merasa adalah bagian dari memahami. Dan bagi guru, menyadari ini adalah langkah pertama untuk mengubah pendekatan, dari mengajar materi menjadi menghidupkan pengalaman.
Ada filosofi halus yang mengalir dari riset ini: bahwa belajar yang bermakna tidak bisa diciptakan semata dari kurikulum, tetapi dari ruang batin yang terbuka untuk rasa. Dalam keheningan sejenak setelah pelajaran, saat anak merekam video sendirian di sudut kelas, kita mendengar bukan hanya suara anak, tapi gema dari masa depan pendidikan. Pendidikan yang mendengar.
Mungkin, seperti yang pernah ditulis seorang penyair, pendidikan bukanlah soal mengisi bejana, tapi menyalakan api. Dan api itu, sering kali, menyala dalam momen-momen yang tidak tertulis di rencana pelajaran: sepotong cokelat, sebuah vlog, secuil rasa bangga yang muncul ketika anak menyadari bahwa suaranya punya tempat.
Posting Komentar