ZMedia Purwodadi

Menyentuh Dunia yang Belum Ada

Daftar Isi

Suatu pagi, seorang anak perempuan berdiri di depan cermin. Ia menatap wajahnya sendiri, bukan untuk mematut diri, tetapi seperti sedang mencari makna di balik mata, seperti ingin mengerti dunia. Tapi dunia yang ia lihat adalah dunia yang sudah dipatenkan: ruang kelas yang sunyi dari kemungkinan, buku pelajaran yang dingin dari harapan, dan suara guru yang datar seperti jam dinding. Ia ingin bertanya, tapi sudah terlalu sering diam.

Maxine Greene mungkin akan menghampiri anak itu dan berbisik, "Bayangkan dunia yang belum ada." Karena baginya, pendidikan bukanlah prosedur administratif, bukan soal ketercapaian kurikulum, apalagi sekadar transmisi pengetahuan. Pendidikan, dalam tangan Greene, adalah ruang tak rampung, suatu kemungkinan untuk membebaskan diri dari ketakbermaknaan yang sistemik.

Greene adalah semacam penjahit metafora. Ia menenun pendidikan dengan filsafat eksistensial, terutama Sartre dan Merleau-Ponty, dan menolak melihat peserta didik sebagai objek pasif yang harus dibentuk. Ia percaya, dengan keyakinan yang sunyi namun dalam, bahwa manusia harus diajak sadar. Bukan sekadar tahu, tapi sadar, bahwa dunia ini bukan satu-satunya cara menjadi. Bahwa kita bisa, dan harus, membayangkan kemungkinan lain.


Di sinilah pendidikan menjadi tindakan puitis. Bukan dalam arti bersajak atau berseni, tapi dalam kapasitasnya menghidupkan kesadaran akan dunia yang dapat berubah. “Wide-awakeness,” istilah Greene yang menggemakan kepekaan penuh, adalah kondisi yang dituju. Dan kepekaan ini tidak muncul dari ketekunan mekanis, melainkan dari perjumpaan dengan seni, pengalaman, dan perenungan atas keberadaan diri.

Saya teringat pada seorang guru tua di desa lereng gunung. Ia tidak pernah menyuruh murid-muridnya membuka buku lebih dulu. Sebaliknya, ia membuka jendela. “Lihatlah kabut pagi itu,” katanya, “dan bayangkan apa yang disembunyikannya.” Dari kabut itu, lahirlah cerita-cerita, pertanyaan, dan pelajaran. Anak-anak belajar bukan dari hafalan, tapi dari menyusun dunia. Guru itu, barangkali, tidak pernah membaca Maxine Greene. Tapi ia menghidupi pemikirannya.

Greene menulis bahwa imajinasi adalah jalan menuju emansipasi. Imajinasi, dalam pengertian Greene, bukan pelarian dari dunia nyata, tapi sarana untuk membayangkan dan merancang cara hidup yang lain. Pendidikan, jika hanya menjadi alat penyesuaian terhadap norma yang sudah ada, akan melanggengkan ketertindasan. Tetapi ketika pendidikan membuka kemungkinan untuk menamai, membayangkan, dan mengkreasi, di situlah kebebasan dilahirkan.

Bagi Greene, seni adalah tempat istimewa dalam pendidikan. Sebuah lukisan, sebuah drama, atau sepotong puisi bisa menjadi jendela menuju pengalaman orang lain. Ia percaya, melalui seni, kita bisa merasakan apa yang sebelumnya tak terbayangkan. Dalam empati yang diaktifkan itulah, tumbuh pemahaman tentang ketidakadilan, ketimpangan, dan absurditas hidup. Seni, dengan demikian, bukan pelengkap kurikulum, tapi detak jantung dari kesadaran moral.

Dan ini bukanlah utopia kosong. Greene tidak menawarkan idealisme naif. Ia sadar akan kekerasan struktural dalam sistem pendidikan. Ia tahu bahwa banyak sekolah adalah benteng ketakutan, bahwa banyak siswa tidak pernah diminta untuk berpikir, apalagi merasa. Tapi justru karena itulah, pendidikan harus menjadi tindakan politis, bukan politik praktis, tapi politik sebagai pembebasan. Ia menyebutnya sebagai transformative education, pendidikan yang memungkinkan lahirnya subjek kritis, bukan objek dari kebijakan.

Ada yang hening dalam gagasan Greene. Sebuah keheningan yang tak sunyi. Seperti jeda dalam musik, yang justru membuat nada lebih bermakna. Ia mengajak kita berhenti sejenak dari hiruk pikuk target pendidikan, dan menengok ke dalam: sudahkah kita benar-benar melihat murid kita sebagai manusia?

Dan lebih dalam lagi: sudahkah kita sebagai pendidik menjadi manusia, dengan seluruh keraguan, kesangsian, harapan, dan keberanian untuk terus membayangkan yang lain?

Saya kira Greene sedang berbicara pada kita saat ini. Di tengah birokrasi yang menumpulkan empati, di tengah sistem yang mengukur manusia dengan angka, ia mengingatkan: pendidikan adalah proyek etis. Dan etika itu tidak lahir dari dogma, tapi dari pertemuan, dengan diri sendiri, dengan yang lain, dan dengan dunia yang terus mungkin diubah.

Pernah, di sebuah kelas, seorang siswa bertanya, “Mengapa kita harus belajar sejarah jika semua sudah terjadi?” Seorang guru menjawab, “Agar kamu tahu bahwa masa depan tidak harus seperti hari ini.” Jawaban itu, mungkin, sederhana. Tapi di situlah Greene akan berdiri: di ruang antara masa lalu dan masa depan, dalam imajinasi yang menjembatani keduanya.

Maxine Greene tidak menawarkan metode. Ia menawarkan kesadaran. Ia tidak menyusun sistem. Ia menyuarakan kemungkinan. Dalam dunia yang terlalu cepat memutuskan mana yang benar dan salah, mana yang sukses dan gagal, Greene meminta kita menunda. Untuk mendengar, melihat, membayangkan, dan bertanya: “Apakah ini dunia yang kita kehendaki?”

Akhirnya, pendidikan menurut Greene adalah keberanian untuk hidup dengan mata terbuka. Untuk menolak dunia yang sudah jadi, dan membayangkan dunia yang masih mungkin. Dan dalam keberanian itu, kita tidak hanya mengajar, kita juga belajar kembali menjadi manusia.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day

Posting Komentar