Menyentuh Dasar yang Lupa
Di sebuah pagi yang diam, seorang guru tua di desa kecil menatap papan tulis yang kosong. Murid-murid belum datang. Ia tidak menyiapkan pelajaran. Ia menyiapkan dirinya.
Ada waktu, kata Joseph Schwab, ketika kurikulum adalah urusan manusia. Bukan cetakan sistem, bukan barang mati dalam buku panduan, melainkan percakapan hidup antara guru, siswa, dan dunia. Kini, ia merasa telah kehilangan suara.
Schwab menyebutnya “keusangan” kurikulum. Bukan karena ilmunya basi, tetapi karena jiwanya mengering. Pendidikan terlalu lama bersembunyi di balik klaim objektif, menghindari keraguan dan konflik yang justru menghidupkan. Kita mengajar seperti menjahit pola tetap: lurus, steril, dan penuh kepastian. Padahal dunia adalah lipatan yang bengkok dan manusia tak pernah sesederhana rumus.
Schwab menantang kita untuk kembali ke ruang dialog. Dalam teorinya, kurikulum bukan barang jadi, melainkan tindakan; a practical art, seperti melukis atau memasak. Ia hidup dari pengalaman, intuisi, konflik, bahkan pertengkaran. Ilmu tidak bisa dipisahkan dari manusia yang memegangnya, sebagaimana makanan tak bisa dipisahkan dari tangan yang meraciknya.
Ada empat suara, katanya, yang harus bersuara dalam membentuk kurikulum: subjek ilmu, siswa, guru, dan lingkungan. Tapi seringkali yang terdengar hanya satu, yaitu suara sistem. Suara birokrasi. Suara “standar”. Kita menyunyi.
Bayangkan sebuah orkestra, kata Schwab, yang hanya memainkan biola. Indah, tapi kehilangan kedalaman. Begitulah kurikulum yang dibentuk hanya dari teori dan administrasi. Ia kehilangan denting pengalaman siswa, denyut hasrat guru, dan gaung dunia nyata.
Ia mengajak kita untuk “membuka kembali wacana”, membuka ruang bagi diskusi yang rawan, plural, bahkan tidak selesai. Pendidikan bukan jalan lurus ke satu tujuan. Ia adalah belantara penuh percabangan. Dalam belantara itu, guru bukan pemandu wisata, melainkan sesama peziarah. Ia juga tersesat, juga belajar, juga takut.
Schwab menolak peta tunggal. Ia lebih percaya pada kompas; arah yang lentur dan tergantung konteks. Ia ingin kita kembali meraba-raba, membuka ketidaktahuan, bertanya bersama. Kurikulum, bagi Schwab, adalah peristiwa sosial, bukan formula. Ia adalah gerak, bukan paku.
Saya teringat cerita tentang seorang guru di tanah konflik, yang mengajar sejarah bukan untuk menentukan siapa benar, tapi agar murid bisa menatap luka masa lalu tanpa benci. Ia tak membawa “kebenaran”, tapi membuka ruang agar kebenaran bisa dinegosiasikan bersama. Dalam ruang itu, pendidikan menjadi ritual kemanusiaan, bukan sekadar transmisi informasi.
Di sinilah letak refleksi Schwab yang paling menusuk: bahwa pendidikan terlalu lama berdiri di atas jarak. Jarak antara teori dan praktik. Jarak antara guru dan siswa. Jarak antara ilmu dan hidup.
Ia menyerukan “reformulasi radikal” terhadap cara kita menyusun pengetahuan. Tapi bukan reformasi struktural semata. Lebih dalam, ia ingin kita kembali mendengar: suara siswa yang cemas, suara guru yang letih, suara dunia yang retak.
Ia menyebut perlunya tim kerja, the deliberative group, dalam merancang kurikulum. Bukan kerja soliter para pakar, tapi kerja kolektif antara pelaku nyata. Di meja itu duduk bersama: guru, siswa, ilmuwan, dan masyarakat. Masing-masing membawa kepingan realitas. Dan dalam gesekan itulah kurikulum lahir, bukan sebagai jawaban, tapi sebagai tanggapan.
Tapi dunia kita hari ini terlalu tergesa. Kita ingin hasil. Kita ingin angka. Kita ingin anak “siap kerja” sebelum ia sempat bertanya: kerja untuk apa?
Kita membangun gedung sekolah, tapi melupakan rumah belajar. Kita menyusun silabus, tapi tak mendengar suara yang belajar. Kita mengejar efektivitas, padahal belajar sejati justru tidak efisien. Ia mengambil jalan memutar, tersandung, kembali, lalu tersesat lagi.
Schwab mengingatkan bahwa ketidaksempurnaan bukan cacat, melainkan ruang untuk bertumbuh. Bahwa konflik dalam pendidikan bukan penghalang, melainkan pintu.
Pagi itu, di ruang kelas yang sepi, guru tua itu masih memandangi papan tulis. Ia tahu, hari ini ia tidak sekadar mengajar “mata pelajaran”. Ia akan mendengarkan. Ia akan bertanya balik. Ia akan berjalan bersama murid-muridnya ke tempat yang belum punya nama.
Dan mungkin, seperti Schwab inginkan, pendidikan akan kembali menjadi manusiawi. Tempat di mana pengetahuan tidak menjadi menara, melainkan jembatan. Tempat di mana guru bukan pelaksana, tapi pengembara. Tempat di mana belajar adalah keberanian untuk tidak tahu, dan kurikulum adalah puisi yang ditulis bersama, baris demi baris.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar