ZMedia Purwodadi

Menyemai Cahaya dalam Duka

Daftar Isi

Ada sebuah lukisan tua yang menggantung di rumah-rumah miskin di Ceko pada awal abad ke-20: seorang lelaki berjubah panjang melangkah ke perbatasan tanah airnya, menoleh sejenak sebelum menghilang ke ufuk asing. Gambar itu disebut “Comenius taking leave of his country.” Di mata rakyatnya, ia bukan hanya seorang filsuf atau pendidik. Ia adalah luka yang hidup.

Dan seperti semua luka yang dalam, Comenius tidak pernah sepenuhnya sembuh. Ia menulis dari pengasingan, berkarya di tengah abu-abu Eropa yang terbelah oleh agama, perang, dan prasangka. Ia bukan pemilik tahta atau pedang, tapi seorang penggagas sekolah. Namun justru dari tempat-tempat kecil dan ide-ide halus itulah, dunia perlahan dibentuk kembali.

Seperti yang ia tulis dalam Didactica Magna, mengajar bukan sekadar menyampaikan, tapi menyemai. Mengajarlah dengan lembut, katanya, agar tak ada yang merasa dipaksa. Ajarilah semua, segalanya, secara menyeluruh. Pendidikan bukan sekadar jalan menuju pengetahuan, tetapi lorong menuju kebaikan, kesantunan, dan kesalehan.


Saya membayangkan Comenius duduk sendiri di malam-malam Leszno, saat perpustakaan tempat ia menyimpan impian-impian dunia terbakar habis. Bayangan jilatan api membawa pergi bukan hanya buku, tapi harapan. Istrinya wafat. Anak-anaknya tiada. Tanah airnya tak sudi menerima iman yang ia peluk. Tapi dari reruntuhan itu, ia justru menulis buku-buku yang membentuk dunia. Barangkali karena itulah, ia lebih layak disebut sebagai peziarah daripada pengungsi.

Pendidikan, bagi Comenius, bukan tempat menghafal, melainkan upaya merawat kemanusiaan yang retak. Ia membayangkan sekolah seperti taman, sebuah tempat di mana setiap anak, seperti benih, harus tumbuh dalam cahaya kesabaran dan air cinta. Ia tak berbicara dengan nada keras, tapi lembut dan teguh. Ia ingin dunia yang tidak hanya mengajarkan apa itu benda, tetapi juga bagaimana mencintai sesama.

Dan dalam dunia yang kala itu terjebak pada pembatasan perempuan dan miskin imajinasi universal, Comenius justru menyuarakan pendidikan untuk semua, bahkan bagi anak-anak perempuan. Di zamannya, itu bukan hal kecil. Di zamannya, itu seperti menanam bunga di salju.

Apa yang ia sebut pansophia bukanlah utopia kosong. Itu adalah impian tentang pengetahuan universal yang bersatu dengan kebijaksanaan ilahi. Sebuah keyakinan bahwa apabila manusia dididik dengan baik, ia akan tumbuh menjadi makhluk yang damai. Tidak hanya cerdas, tapi juga arif. Tidak hanya tahu, tapi juga tahu batas.

Ia menyusun buku untuk bayi dan ibu, menulis Janua Linguarum Reserata, lalu Orbis Pictus, yang menjadi buku bergambar pertama di dunia. Ia percaya bahwa dunia yang bisa dilihat dan disentuh lebih mudah dipahami anak. Ia mendekatkan semesta ke pangkuan anak-anak, bukan menjadikannya mitos yang hanya dimengerti orang dewasa. Dari balik penderitaan, ia memilih untuk menjadi jembatan.

Saya teringat kalimatnya yang kini diabadikan di lantai perpustakaan Universitas Olomouc: "Mari kita ubah gudang senjata menjadi perpustakaan." Barangkali, itu kutipan paling sederhana tentang bagaimana pendidikan bisa menyelamatkan dunia. Dalam kalimat itu, gema harapan terdengar lebih keras dari dentum meriam.

Comenius bukanlah orang yang hidup di masa mudah. Ia hidup dalam Perang Tiga Puluh Tahun, dalam pengkhianatan dan penderitaan yang berlapis. Ia kehilangan rumah, kawan, dan semua yang dicintainya, tapi tidak pernah kehilangan gagasan. Dan barangkali karena itulah ia lebih dari sekadar pendidik. Ia adalah juru selamat diam-diam, yang memilih kata-kata ketimbang kekuasaan.

Dalam Labyrinth of the World and Paradise of the Heart, satu-satunya karya fiksinya, ia menggambarkan dunia sebagai labirin kebodohan dan tipuan. Tapi di dalam hati, katanya, ada surga yang tak bisa disentuh dunia luar. Mungkin itu yang ia pegang erat dalam keasingan. Surga kecil yang tetap bersinar meski dunia gelap.

Saya membayangkan dunia hari ini, dengan sekolah-sekolah yang terkadang sibuk mengejar angka, tapi lupa pada anak-anak. Dunia yang canggih tapi rapuh. Dunia yang terlalu sering lupa bahwa pendidikan adalah kerja kasih. Maka dari Comenius kita belajar: bahwa mendidik adalah pekerjaan yang sabar, pelan, dan penuh cinta. Bahwa dunia bisa diubah, bukan dengan kekuatan, tapi dengan pengertian.

Ia wafat di Amsterdam, jauh dari tanah kelahirannya. Tapi jiwanya tak pernah betul-betul pergi dari rakyatnya. Saat tentara Soviet menginjak Praha pada 1968, sebuah lagu yang liriknya diambil dari testamen Comenius dinyanyikan diam-diam: "Sesudah badai murka Tuhan berlalu, kekuasaan akan kembali padamu, wahai bangsa Ceko." Lagu itu dilarang. Tapi dua puluh tahun kemudian, saat Revolusi Beludru pecah, penyanyi itu tampil lagi. Di hadapan tiga perempat juta orang.

Ada orang-orang yang tidak hidup dalam sejarah, tapi hidup dalam hati orang banyak. Comenius adalah salah satunya. Seorang guru, yang menulis di tengah reruntuhan. Seorang pengasing, yang menyalakan obor pendidikan di tengah kegelapan. Seorang pemikir, yang tidak pernah berhenti percaya bahwa manusia bisa lebih baik, jika ia dibimbing dengan hati.

Dan bukankah itu harapan kita yang paling mendasar?


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar