Mengukur Yang Tak Terukur
Ada seorang guru tua di desa pegunungan yang setiap pagi menyusun batu-batu kecil di tepi sungai. Ia tidak sedang membangun sesuatu, katanya, hanya mencoba memahami arus. Batu-batu itu, diletakkan satu per satu, adalah ukurannya terhadap sesuatu yang tak bisa diukur: aliran air, waktu yang mengalir, atau mungkin harapan murid-murid yang ia temui setiap hari.
Dalam keheningan itu, saya teringat Ralph W. Tyler.
Ia bukan seorang penyair, barangkali. Tapi dari tangan dinginnya lahirlah suatu cara melihat pendidikan bukan sebagai tumpukan pengetahuan, melainkan sebagai arah. Tyler berbicara tentang tujuan, pengalaman belajar, organisasi kurikulum, dan evaluasi. Empat tiang sederhana yang seperti pilar dalam rumah papan tua: tegak, kokoh, tapi tanpa kemegahan.
Namun bukankah hal yang sederhana justru menyimpan kedalaman? Bukankah sebuah kompas kecil lebih berguna daripada peta megah ketika kita tersesat dalam hutan?
Namun dunia seringkali tidak sabar terhadap pertumbuhan. Kita ingin hasil yang cepat, angka yang memuaskan, grafik yang naik. Maka pendidikan pun kadang terjerumus menjadi pabrik, bukan taman. Anak-anak dilihat seperti botol kosong yang harus diisi, bukan seperti benih yang menunggu musim.
Tyler menantang cara berpikir seperti itu. Ia meminta kita bertanya bukan hanya tentang "apa yang diajarkan", tetapi "apakah yang diajarkan itu mengubah hidup?". Ia memperkenalkan gagasan evaluasi bukan sebagai hukuman, tapi sebagai cermin. Suatu cara melihat apakah yang ditanam benar-benar tumbuh. Evaluasi, dalam pandangannya, bukan akhir dari proses, tapi bagian dari penghayatan: Apakah pengalaman belajar itu bermakna?
Dan di sinilah, bagi saya, Tyler menjadi puitik.
Ia memperlakukan evaluasi bukan sebagai alat seleksi, tapi sebagai sarana untuk mendekatkan tujuan dengan kenyataan. Seperti seorang tukang kayu yang memeriksa simpul-simpul pada kayu yang akan ia pahat, bukan untuk menolak kayu itu, tapi agar ia bisa mengukirnya lebih baik. Begitu pula guru: ia tidak mencatat nilai semata, tapi mencari jejak-jejak pertumbuhan, luka-luka kecil yang membentuk keberanian, atau barangkali diam murid yang menyimpan dalamnya pertanyaan yang dalam.
Dalam dunia Tyler, pengalaman belajar adalah jantung dari pendidikan. Tapi bukan sembarang pengalaman. Pengalaman yang disengaja, terstruktur, dan bermakna. Pengalaman yang menggerakkan, bukan hanya mengisi. Di sinilah pendidikan menjelma bukan menjadi tempat pemberian, tetapi pertemuan. Antara siswa dan dunia. Antara diri dan kemungkinan. Antara yang diketahui dan yang belum pernah dibayangkan.
Saya membayangkan seorang anak yang pertama kali memegang kaca pembesar dan melihat semut berjalan. Dalam dunia kurikulum Tyler, itulah pengalaman belajar yang hidup. Pengalaman yang mengandung keajaiban. Tapi keajaiban itu tidak cukup hanya terjadi. Ia harus diorganisasi. Karena pengalaman bisa datang dan pergi seperti angin, tanpa arah. Maka peran pendidik adalah menganyam, menautkan, membentuk jembatan di antara momen-momen kecil itu agar menjadi jejak.
Dan itulah yang Tyler maksud sebagai organisasi pengalaman belajar.
Pendidikan, dalam gagasannya, bukanlah kolam yang diam, melainkan arus yang perlu dibimbing. Organisasi kurikulum bukan semata susunan topik, melainkan narasi yang memandu perjalanan. Ia tidak mengajak kita membuat daftar isi pelajaran, tapi peta perjalanan. Karena pada akhirnya, setiap siswa adalah peziarah. Ia menapaki jalan yang tak selalu lurus, tak selalu terang, dan kadang penuh kabut.
Dalam dunia pendidikan Indonesia yang sering terjebak dalam jargon dan repetisi, suara Tyler terdengar seperti desir angin yang pelan tapi konsisten: ajukan tujuan, hadirkan pengalaman, susun makna, dan renungkan hasil. Ia mungkin tidak sepopuler Paulo Freire dengan semboyan perlawanan, atau Piaget dengan eksperimen masa kecil, tetapi suaranya adalah suara keseharian. Suara seorang guru yang ingin tahu apakah yang ia ajarkan sungguh berguna bagi hidup.
Barangkali itulah yang terlupakan: bahwa pendidikan adalah tentang hidup. Bukan sekadar masa depan, tapi masa kini. Bukan hanya angka dalam rapor, tetapi keberanian untuk bertanya. Kepekaan untuk melihat. Ketekunan untuk mendengarkan.
Seperti guru tua yang meletakkan batu-batu kecil di tepi sungai, Tyler mengajak kita meletakkan setiap elemen pendidikan dengan sadar. Bukan untuk membangun monumen, tapi untuk memahami arus. Untuk tahu apakah kita sedang mengajar demi hasil atau demi manusia.
Dan mungkin, pada akhirnya, itulah satu-satunya ukuran yang penting: apakah pendidikan membuat kita lebih manusia?.
Posting Komentar