Mengingat Kembali Sekolah Alam: Sebuah Esai Reflektif
Di sebuah padang rumput kecil, anak-anak berlarian mengejar bayangan mereka sendiri. Mata mereka berbinar melihat seekor kupu-kupu hinggap di kelopak dandelion, tangan kecil mereka mencoba menangkap angin, suara mereka bercampur tawa dan gumam tak selesai. Mungkin di sanalah pendidikan bermula, bukan dari papan tulis, bukan dari barisan bangku kayu, melainkan dari tanah yang basah dan langit yang luas.
William Wordsworth menyebutnya sebagai “wise passiveness.” Sebuah cara belajar yang tidak melulu tentang mencari, tapi tentang membiarkan dunia berbicara dan anak-anak mendengarkannya dengan khusyuk. Charlotte Mason, yang hidup satu abad setelah sang penyair, meminjam gema itu dan menuliskannya dalam kurikulum rumah dan sekolah: bahwa anak-anak adalah pribadi utuh, bukan bejana kosong. Mereka tidak dibentuk dengan paksaan, tapi tumbuh dalam kebebasan.
Hari ini, kita hidup di antara spreadsheet dan skor ujian, di mana anak-anak diuji sebelum sempat bertanya, dinilai sebelum sempat mengenal. Dalam dunia seperti itu, ajaran Wordsworth dan Mason terdengar seperti puisi yang ditinggalkan di tengah rapat komite sekolah. Tapi justru di situlah kekuatannya, sebuah bisikan lembut di tengah hiruk-pikuk: “lihatlah, dengarlah, biarkan mereka bermain.”
Pernah saya bertemu seorang anak berusia lima tahun di sebuah sekolah di selatan Jakarta. Ia mengangkat potongan rumput laut dan berteriak bangga, “Ini bladderwrack!” Kata itu, yang terdengar seperti mantra dari negeri asing, muncul bukan dari modul pelajaran, tapi dari percakapan tak sengaja, dari buku yang ia temui entah di mana. Saya terdiam, berpikir: berapa banyak dari kita yang masih bisa terpesona oleh kata?
Kata, bagi Wordsworth, adalah kekuatan. “Phrases pleased me chosen for delight,” tulisnya. Dan Mason melanjutkan: berikan anak-anak bahasa yang kaya, bukan bahasa ‘ala kadarnya’ yang kita anggap cocok untuk mereka. Karena bahasa membentuk imajinasi. Dan dari imajinasi, tumbuh pemahaman.
Tapi apa yang terjadi jika kita hanya mengajar untuk lulus ujian? Jika sekolah menjadi pabrik, guru menjadi operator, dan anak-anak adalah produk? Maka hilanglah waktu untuk duduk di batu tua di tepi danau, untuk sekadar bermimpi dan diam.
Mason menyebutnya sebagai “pendidikan melalui ide.” Bahwa yang dibutuhkan anak bukan rangkuman fakta, tapi percikan makna. Ia percaya bahwa otak anak adalah tanah subur, dan ide adalah benih. Dan benih, seperti dalam setiap dongeng yang baik, tumbuh bukan karena dipaksa, tapi karena diberi ruang, waktu, dan cahaya.
Mungkin kita butuh sekolah yang tidak takut mengajak anak-anak mendaki bukit, bukan demi proyek sains, tapi agar mereka bisa berkata: “Aku ingat bagaimana angin di sana membuatku merasa bebas.” Mungkin kita butuh kurikulum yang menyediakan waktu untuk melukis bunga iris, bukan sebagai tugas seni, tapi karena, seperti kata Mason, “keinginan untuk mereproduksi apa yang ia lihat, lahir dari dirinya sendiri.”
Dan mungkin, kita [para guru, orang tua, pengambil kebijakan] harus belajar diam. Bukan diam yang abai, tapi diam yang percaya. Percaya bahwa anak-anak tidak selalu butuh kita menjelaskan segalanya. Bahwa belajar bisa lahir dari duduk di bawah pohon, dari cerita yang menyusup di antara desah napas, dari rasa ingin tahu yang tidak dijadwalkan.
Kita hidup di zaman yang percaya bahwa segala sesuatu harus terukur. Tapi seperti bunga liar di tepi jalan, banyak hal berharga tumbuh di luar sistem. Pendidikan yang membebaskan, yang menghargai kata dan keheningan, yang mempertemukan anak-anak dengan alam dan sastra, itulah warisan Wordsworth dan Mason.
Dan mungkin suatu hari nanti, seorang anak dewasa akan berjalan sendiri menyusuri jalan kecil, dan tiba-tiba mencium aroma rerumputan yang membawanya kembali ke sebuah pagi di taman sekolah, saat ia menulis tentang kepik di buku hariannya. Saat itu, tanpa disadari, ia sedang belajar. Tanpa sadar, kita telah mengajar.
Itulah pendidikan yang tidak tampak seperti pengajaran. Tapi justru karena itu, ia menetap dalam jiwa.
Seperti puisi yang tak pernah selesai.
Posting Komentar