ZMedia Purwodadi

Menggenggam Iklim dalam Ingatan

Daftar Isi

Ada sesuatu yang tak terkatakan dalam perubahan musim. Barangkali kita terbiasa merayakan datangnya hujan, mencatat pergeseran angin, atau sekadar menyapa panas yang mengeras di siang hari. Tapi siapa yang benar-benar mengerti mengapa musim berubah? Kita hidup dalam cuaca, tapi seringkali lupa memahami langit.

Di sebuah pulau kecil bernama Malta, tujuh calon guru taman kanak-kanak mencoba menjawab pertanyaan yang diam-diam menggantung di atas kepala mereka: apa itu perubahan iklim? Jawaban mereka adalah cerita tentang ketidaktahuan yang lembut, seperti daun-daun yang berguguran pelan, seperti lagu masa kecil yang liriknya terpotong setengah.

Salah satu dari mereka menyebutkan lubang di lapisan ozon, seakan-akan dunia ini retak seperti cermin tua. Yang lain menunjuk pada panas yang menggerogoti kulit, pada hujan yang tiba-tiba deras, pada musim yang berjalan tersesat. Mereka berbicara dari ruang-ruang kecil yang akrab: rumah, keluarga, jalanan di kota, pantai yang mulai tergerus. Mereka tidak memulai dari buku tebal atau teori rumit, mereka memulai dari kehidupan sehari-hari, dari apa yang mereka lihat, apa yang mereka rasakan.


Ada istilah yang indah: community funds of knowledge and identity. Bahwa kita membawa pengetahuan dari mana-mana, dari ibu yang melarang kita menyemprotkan parfum, dari percakapan di meja makan, dari jalan-jalan sore yang panasnya tak biasa. Pengetahuan yang menempel dalam tubuh, dalam ingatan, dalam kebiasaan. Kita mengira kita mengerti, padahal mungkin kita hanya mengulang cerita yang diwariskan lingkungan kita.

Di situlah letak kegamangan mereka: mereka tahu, tapi tahu dengan cara yang retak. Mereka percaya pada lubang ozon, pada semprotan aerosol yang jahat, pada mobil yang menyesakkan kota kecil mereka. Tapi mereka juga tidak yakin. "Saya hanya satu orang, apa pengaruh saya?" Kalimat seperti itu kerap muncul, seperti bisikan yang pasrah. Mereka memikul beban dunia, tapi meyakinkan diri bahwa pundak mereka terlalu kecil.

Barangkali memang begitulah manusia. Kita adalah makhluk yang dengan mudah menyerahkan tanggung jawab kepada yang lain. Pemerintah, orang kaya, negara besar, tetangga yang membakar sampah. Kita tahu ada krisis, tapi tak cukup percaya bahwa diri kita bagian dari jawabannya.

Di antara percakapan-percakapan itu, terselip harapan yang rapuh. Mereka ingin mengajarkan anak-anak tentang iklim, tentang bumi yang memanas. Tapi mereka ragu. Materi yang mereka dapatkan terlalu sedikit, waktu mereka terlalu sempit, kurikulum terlalu padat. Mereka tahu bagaimana mengajarkan lagu tentang daur ulang, tapi mereka tak tahu bagaimana menjelaskan kenapa kutub mencair.

Mungkin kita memang selalu memulai dari cerita kecil. Dari lagu-lagu di taman kanak-kanak, dari gambar pohon yang dilukis dengan krayon hijau, dari ajakan sederhana untuk membuang sampah pada tempatnya. Tapi apakah cukup? Atau apakah kita hanya menambal dinding yang sudah runtuh dengan plester tipis?

Dalam ketidaktahuan mereka, ada sesuatu yang jujur. Bahwa pengetahuan itu tidak lahir di ruang kuliah saja. Ia tumbuh dari pengalaman yang berulang, dari komunitas yang membentuk kita, dari identitas yang tak selalu kita sadari. Bahwa pengetahuan tentang iklim bukan sekadar angka suhu atau grafik CO₂, tapi juga tentang bagaimana kita memahami diri kita dalam dunia yang terluka.

Mungkin perubahan tidak datang dalam ledakan besar. Mungkin ia hadir dalam bisikan anak-anak yang belajar mencintai pohon. Dalam ketelatenan seorang guru yang mencoba, meski tak yakin sepenuhnya. Dalam keengganan yang perlahan berubah menjadi kebiasaan.

Dan mungkin, seperti musim yang bergeser, pemahaman kita tentang iklim juga bergerak perlahan, kadang samar, kadang keliru, tapi selalu hidup di antara kita.

Karena pada akhirnya, perubahan iklim bukan hanya persoalan sains, tapi juga soal siapa kita, dari mana kita berasal, dan cerita apa yang ingin kita wariskan.


Sumber baca:

Posting Komentar