Mengganti Sepatu di Tengah Permainan
Ada sesuatu yang nyaris sakral dari teriakan anak-anak di lapangan sekolah dasar. Sebuah kegembiraan yang riuh, mentah, dan tak mengenal konsep “efektivitas pedagogis.” Mereka berlari bukan untuk skor, tapi karena kaki mereka belum paham konsep menahan diri. Dan di tengah debu yang beterbangan serta garis-garis kapur yang mulai memudar, ada satu hal yang selalu tampak konstan: sang guru yang meniup peluit, memberi instruksi, mengatur barisan. Begitu tradisional. Begitu nyaman. Begitu aman.
Tapi apa jadinya jika guru itu diminta mengganti peluitnya dengan pertanyaan? Jika ia diminta membiarkan anak-anak sendiri menentukan jalannya permainan? Sebuah langkah yang mungkin dianggap radikal: Models-Based Practice atau MBP, sebuah pendekatan yang tak sekadar mengajarkan anak menendang bola, tapi memahami mengapa ia menendang, kapan harus menendang, dan untuk siapa.
Dalam dunia pendidikan jasmani, MBP menyerupai mosaik. Ia bukan satu cara tunggal yang menjadi kunci segala, melainkan gabungan dari banyak cara seperti kooperatif, berbasis permainan, edukatif, dan eksploratif. Seolah menyarankan: jangan ajari anak-anak berenang di kolam yang sama, dengan gaya yang sama, dan pelatih yang sama, karena mereka membawa tubuh dan jiwa yang berbeda.
Dan di sinilah tragedi kecil itu terjadi. Kita menginginkan pendidikan jasmani yang menyentuh seluruh aspek anak, fisik, emosional, kognitif, dan sosial, tetapi justru memberi pelatihan kepada para gurunya hanya dalam fragmen waktu, hanya dalam kotak kurikulum. Kita ingin mereka menyemai "literasi fisik", tapi lupa bahwa guru juga butuh literasi pedagogis yang lebih dari sekadar satu model instruksi tunggal.
Ada sebuah kisah yang mungkin relevan di sini. Seorang guru muda, baru lulus pelatihan, mencoba pendekatan kooperatif dalam pelajaran olahraga. Ia membiarkan anak-anak merancang permainan mereka sendiri. Di minggu pertama, kekacauan terjadi. Bola berserakan, suara gaduh, dan ia nyaris kembali pada “barisan lurus, lempar bola satu-satu.” Tapi ia bertahan. Di minggu keempat, satu anak yang selama ini selalu diam mengusulkan peraturan baru. Di minggu keenam, seorang anak yang kerap ‘kalah’ justru memilih menjadi wasit dan dihormati teman-temannya. Dan di minggu kesepuluh, guru itu menangis diam-diam di ruang guru, bukan karena sukses besar, tapi karena menyadari: pelajaran jasmani bukan tentang memenangkan pertandingan, tapi memberi ruang agar anak-anak bisa merasa penting, dalam bentuk yang mereka pilih sendiri.
Itulah inti dari MBP: menjadikan guru bukan pusat, tapi fasilitator; menjadikan anak bukan sekadar penerima instruksi, tapi pencipta pengalaman. Ia adalah semacam demokrasi kecil di lapangan sekolah, rapuh, tapi mungkin satu-satunya cara membuat setiap anak merasa memiliki tempat di tengah peluit dan garis lapangan.
Namun seperti semua mimpi yang lahir dari idealisme, MBP pun harus bertarung dengan realitas. Kekurangan waktu dalam pelatihan guru, ketakutan untuk gagal di depan kelas, kurikulum yang sempit, dan harapan masyarakat yang masih melihat PE sebagai “olahraga saja.” Maka MBP menjadi semacam utopia yang belum bertaji, dikenal dalam literatur namun asing di ruang kelas.
Tetapi bukankah segala yang baru selalu dimulai dari mimpi yang tampak tidak praktis? Ketika Galileo berkata bahwa bumi berputar, ia melawan bukan hanya dogma agama, tapi juga kenyamanan berpikir datar. Mungkin, mengubah pendekatan dalam pendidikan jasmani bukan soal mengganti metode, tapi mengganti cara melihat anak-anak. Bukan sebagai subjek latihan, tapi sebagai manusia utuh yang sedang belajar mengenal tubuh dan dunianya.
Di akhir hari, ketika anak-anak pulang dengan kaus basah dan pipi merah, kita mungkin tak tahu apakah hari itu mereka belajar teknik lompat yang sempurna. Tapi jika mereka pulang dengan tawa, dengan rasa bahwa tubuh mereka punya makna, dan bahwa mereka boleh menciptakan permainan mereka sendiri, maka mungkin kita sudah memberi mereka pelajaran yang lebih kekal dari sekadar skor.
Dan siapa tahu, dari lapangan kecil itulah lahir generasi yang bukan hanya sehat tubuhnya, tapi juga utuh jiwanya.
Jika dunia pendidikan jasmani adalah sebuah permainan, mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan aturan mainnya. Mungkin saatnya mengganti sepatu, meski permainan sedang berlangsung. Karena kadang, satu langkah kecil keluar dari barisan bisa menciptakan jejak yang tak akan dilupakan.
Posting Komentar