Mendengarkan yang Tak Terucapkan
Ada seorang guru di ujung desa yang tak pernah mengajar dengan buku pelajaran. Ia tak banyak berbicara, tapi matanya seolah mendengar. Anak-anak mencintainya bukan karena jawabannya, melainkan karena kehadirannya yang sunyi tapi penuh. Konon, di sanalah Carl Rogers hidup, bukan dalam tubuh orang tua berjenggot di universitas, melainkan dalam sikap sepi yang mendengar dan tidak menghakimi.
Carl Rogers tidak menulis untuk menjadi penemu besar dalam pendidikan. Ia menulis karena ia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang sedang tumbuh, dan pertumbuhan itu bukan tugas pendidik untuk membentuknya, melainkan untuk mendengarkannya.
Maka pendidikan baginya bukan ruang kuliah, bukan silabus, bukan juga angka-angka di lembar nilai. Pendidikan adalah relasi, sebuah perjumpaan. Seperti sungai yang tak pernah menyuruh ikan berenang, tapi cukup menyediakan aliran yang tenang dan jernih. Di situlah, Rogers menggugat dunia pendidikan yang terlalu percaya pada metode dan lupa pada manusia.
Saya teringat pada pagi yang disiram gerimis, ketika seorang anak berdiri di depan kelas dengan kepala tertunduk. Ia tidak bisa menjawab soal matematika. Guru menyuruhnya duduk, dan teman-temannya tertawa kecil. Tapi tak seorang pun melihat pertempuran kecil yang sedang berlangsung di dada anak itu, antara harga diri dan rasa malu. Dalam dunia Carl Rogers, pertempuran seperti itu adalah pusat dari pendidikan. Bukan angka di papan tulis, tapi rasa yang diam-diam tumbuh dan bisa layu.
Bagi Rogers, manusia bukan gelas kosong yang harus diisi. Ia adalah benih yang hanya butuh tanah subur dan cahaya kepercayaan. Maka, guru bukan penyuluh kebenaran, melainkan penjaga ruang aman. Ia tidak berdiri di depan, tapi hadir di samping.
Tapi empati bukan sikap yang diajarkan lewat ceramah. Ia tumbuh lewat keberanian untuk tidak tahu, untuk diam, untuk tidak merasa lebih tinggi dari murid. Rogers menyebutnya “kongruensi”, keadaan ketika diri luar selaras dengan diri dalam. Guru yang kongruen bukan guru yang sempurna, tapi guru yang jujur.
Kita hidup dalam zaman yang suka mengukur. Nilai, ranking, sertifikat, kompetensi. Semua ada rumusnya. Tapi siapa yang mengukur keberanian seorang anak untuk berbicara setelah bertahun-tahun diam? Siapa yang menghitung air mata yang jatuh diam-diam karena satu kalimat guru yang menyejukkan?
Di sinilah pendidikan Rogers terasa seperti perahu kecil di tengah lautan sistem. Ia tidak megah, tidak bersuara nyaring, tapi tahu ke mana ia mengarah, ke pembebasan manusia. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berkembang, bukan karena ia diajar, tapi karena ia didampingi.
Rogers menulis tentang “freedom to learn”, kebebasan untuk belajar. Tapi bukan kebebasan liar tanpa arah, melainkan kebebasan yang bertumpu pada kepercayaan. Di dunia Rogers, murid dipercaya untuk memikul tanggung jawab atas belajarnya. Guru tidak lagi menjadi pusat, tapi fasilitator. Ia hadir untuk memampukan, bukan mengarahkan.
Maka pendidikan menjadi seperti taman yang luas. Tidak semua pohon tumbuh pada musim yang sama. Ada yang butuh hujan lebih banyak, ada yang tumbuh lambat tapi kokoh. Tugas guru bukan memaksa semua tumbuh serempak, tapi menjaga agar tanahnya tetap subur.
Tentu, ada suara-suara yang sinis. Apakah ini berarti guru tak perlu mengajar? Apakah kebebasan itu bukan justru melahirkan kekacauan? Tapi Rogers menjawab bukan dengan argumen panjang, melainkan dengan pertanyaan yang menggugah. Mengapa kita takut memberi kepercayaan kepada mereka yang belajar?
Ia percaya, manusia pada dasarnya ingin berkembang. Dan tugas pendidikan adalah mempercayai dorongan itu. Ketika anak-anak merasa dihargai, ketika mereka tahu mereka didengar tanpa dihakimi, saat itulah belajar terjadi.
Kita mungkin bisa mengajarkan ilmu dalam beberapa tahun. Tapi membentuk seseorang yang percaya pada dirinya sendiri butuh kehadiran sepanjang hidup. Dan itu hanya terjadi jika pendidikan tidak menjadi proyek, tapi relasi.
Di akhir hidupnya, Rogers bukan dihormati sebagai pendidik besar. Tapi gagasannya tetap hidup, di ruang-ruang kelas yang senyap, di tengah guru-guru yang memilih mendengar daripada menjelaskan, di pelukan orang tua yang memeluk anaknya yang gagal, dan berkata, “Kamu tetap berharga.”
Rogers mengajarkan kita, bahwa pendidikan yang sejati bukan tentang menjadikan anak menjadi seperti kita, tapi menjadi dirinya sendiri, seutuhnya. Dan barangkali, di situlah pendidikan berhenti menjadi instruksi dan menjadi cinta.
Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day
Posting Komentar