Menari dengan Ragu di Lapangan Embun Pagi
Di halaman lapangan yang basah oleh embun pagi, ada senyap yang menunggu untuk dipecah oleh derap langkah kecil. Anak-anak berkumpul, membawa tas berwarna-warni, jiwa yang berdebar-debar, dan harapan bahwa hari ini mereka akan “berjaya”, atau setidaknya tak terpeleset oleh tatapan seribu mata. Di sinilah, menurut sekelompok murid berusia sepuluh sebelas tahun, panggung paling menegangkan di sekolah: olahraga dan hari olahraga besar-besaran. Mereka tahu bahwa di balik sorak sorai dan tepuk tangan, ada ketakutan yang bersarang, tak hanya takut cedera, tapi takut gagal, takut dinilai, takut menjadi bahan olok.
Bayangkan seorang bocah bernama Dara. Tubuhnya lentur, tapi hatinya kaku oleh keraguan. Saat guru mengumumkan latihan lompat jauh, mata Dara berkelana ke tiang bendera di sudut lapangan, seolah di sanalah tempat berlindung bagi jiwa yang gentar. Ia memejamkan mata, merasakan detak jantung menuntun langkahnya: “Apa kata teman-teman nanti kalau aku tersungkur?” Senyap itu pecah ketika tangan lembut seorang sahabat menggenggamnya, mengajak satu lompatan kecil bersama, cukup untuk menyalakan kembali rasa percaya, bahwa keberanian lahir dari pijakan bersama, bukan sorotan sendiri.
Ketika peluit meniupkan aba-aba, ruang terbuka itu berubah menjadi arena pertunjukan. Namun, bagi beberapa murid, sorotan lampu adalah petir yang menggelegar. Mereka merasa setiap langkah adalah taruhannya harga diri, dan setiap sorakan penonton adalah desingan yang mempertegas kegundahan. Rasa takut itu tak melulu milik mereka yang tubuhnya rapuh; anak-anak terampil pun bisa gemetar saat titik tumpu berpindah dari landasan pribadi ke panggung ramai. Bahkan seorang siswa yang gemar sepak bola bisa merasakan titik beku saat namanya dipanggil untuk berlari di lintasan, sementara sorak orang tua menggema di udara.
Metafora tentang “permainan” mengalir menjadi kisah kecil: seperti air yang mengaku takut meninggalkan sungai, anak-anak takut meninggalkan zona nyaman kelas untuk mandi keringat dan tawa. Mereka butuh “pelampung” berupa pilihan: untuk duduk dengan buku ketika panitia mengenakan rompi sukarelawan kecil; untuk merancang lomba sendiri, mungkin lari ala kura-kura, lompat ala kanguru, atau balap karung dalam syair gurindam. Dari kelegaan itu tumbuh rasa memiliki, bahwa olahraga adalah ladang kreativitas, bukan jebakan evaluasi.
Filosofinya sederhana: anak-anak tidak perlu dilatih menuruti nalar dewasa yang kerap mereduksi gerak menjadi kuantitas kalori atau jumlah lari. Sebaliknya, ajarkan mereka bahwa setiap lompatan punya cerita, setiap keringat punya bahasa, bahwa jatuh dan bangun adalah dialog antara keberanian dan kesabaran. Untuk murid berkebutuhan khusus, lapangan itu kerap menjadi labirin sensory overload; gemuruh penonton membuat langkahnya seperti terjerat tali tak terlihat. Maka guru berdiri di antara gemuruh, meredam kebisingan dengan memberi opsi ruangan senyap, atau mengubah sorak menjadi bisik penyemangat.
Cerita paling berkesan datang dari seorang bocah berkacamata tebal yang biasanya menolak olahraga. Suatu ketika ia setuju mencoba mewarnai garis lari dengan kapur, lalu melacak jejak jemarinya di lintasan, dengan sederhana ia “bermain” di batas teritorialnya sendiri. Tanpa ia sadari, menggambar itu adalah lari kecil menuju kembali ke arena. Esoknya, ia melepas sepatu di pinggir lapangan, bergabung, tertawa, dan membiarkan bayangan takutnya terhapus satu langkah demi satu langkah.
Pada akhirnya, olahraga bagi anak-anak bukan hanya soal stamina atau skor teratas, melainkan tentang merawat percikan-percikan kepercayaan diri. Ketika mereka diberi suara, bukan sekadar diundang menimpali, melainkan benar-benar didengar, maka kekuatan batin akan tumbuh, melewati terik kompetisi dan senyap kecemburuan. Dan saat mereka memilih, mereka turut mencipta makna: bahwa olahraga bisa menjadi taman bermain pikiran, laboratorium keberanian, sekaligus panggung kecil di mana keunikan setiap langkah dianggap pantas dihargai.
Di ujung hari, lapangan kembali sepi, menyerap jejak kaki yang tertinggal. Embun malam meredupkan sorot matahari, menutup mata anak-anak yang pulang, lelah namun penuh cerita. Besok, mereka mungkin kembali gugup, namun kini di saku hati masing-masing ada secarik keyakinan: bahwa mendengar, memberi ruang, dan berani jatuh adalah nyawa sesungguhnya dari setiap gerak kecil. Karena sesungguhnya, olahraga bukan tentang siapa yang terdepan, tetapi siapa yang berani menari mengikuti irama ketakutannya sendiri, hingga mereka menemukan ritme kebebasan.

Posting Komentar