Membentuk Jiwa dari Sunyi Kertas Kosong
Ada sebuah pagi yang tak ramai. Di balik jendela, seorang anak berdiri memandang pohon mangga yang daun-daunnya belum juga menguning. Ia tidak sedang belajar, tidak juga bermain. Ia hanya berdiri. Mungkin ia sedang menunggu sesuatu. Atau tidak menunggu apa-apa, hanya membiarkan waktu menetes pelan-pelan ke lantai ingatannya. Di matanya, dunia belum punya nama, belum penuh dengan kata-kata orang dewasa. Ia adalah secarik kertas yang belum disentuh tinta.
John Locke pernah membayangkan seorang anak sebagai “tabula rasa”, bukan sekadar kertas kosong, tapi seperti lilin yang masih lunak, siap dicetak oleh pengalaman. Gagasan ini mungkin telah usang bagi sebagian orang, namun justru dari situlah kita melihat sebuah harapan yang sunyi: bahwa manusia dibentuk, bukan ditakdirkan. Dan bahwa pendidikan, lebih dari sekadar transfer ilmu, adalah seni yang perlahan-lahan mengukir bentuk pada jiwa yang lunak.
Locke tidak romantis. Baginya, anak-anak bukanlah makhluk polos yang menyimpan kebenaran purba. Ia menolak gagasan Rousseau bahwa anak adalah makhluk alami yang harus dibiarkan tumbuh seperti bunga liar. Locke tidak percaya bahwa anak akan belajar jika dibiarkan sendiri. Ia harus “dimanipulasi dengan penuh kasih”, begitu kata tulisannya, agar ingin belajar. Bahkan, untuk mengajarkan membaca, Locke pernah mengatur percakapan pura-pura agar si anak mendengarnya dan terpicu keinginan belajar. Sebuah trik lembut yang mungkin terdengar culas, namun mengandung kasih sayang.
Namun Locke bukan sekadar pendidik moral. Ia juga seorang dokter. Ia menulis panjang lebar soal kesehatan tubuh anak: kaki yang perlu dibiasakan menyentuh tanah dingin, kepala yang tak boleh terlalu hangat, dan pentingnya keteraturan buang air besar. Terdengar remeh? Mungkin. Tapi bagi Locke, tubuh dan jiwa adalah satu. Ia percaya, “A sound mind in a sound body” adalah kunci kebahagiaan. Pendidikan bukan hanya soal pikiran, tapi seluruh diri manusia yang tumbuh.
Dalam dunia Locke, anak-anak bukan miniatur orang dewasa yang perlu diberi pengetahuan sebanyak-banyaknya. Mereka adalah pejalan yang baru tiba di negeri asing. Mereka harus belajar kebiasaan dan tata krama negeri itu, bukan lewat hafalan, tapi lewat perjalanan yang dijalani berulang-ulang. Dan peran pendidik? Bukan sebagai pemegang kunci jawaban, melainkan sebagai arsitek situasi. Ia menciptakan ruang, kesempatan, dan permainan, agar anak-anak, sedikit demi sedikit, belajar mencintai akal sehat dan mencurigai kesenangan sesaat.
Locke pun tak sepenuhnya mengabaikan temperamen bawaan. Ia mengakui bahwa setiap anak memiliki karakter yang tidak bisa sepenuhnya diubah. Seperti bentuk wajah, yang bisa sedikit dirapikan tapi tidak bisa disulap menjadi milik orang lain. Maka pendidikan, bagi Locke, bukan semata menanam benih di ladang kosong, tapi juga mengenali tanahnya: di mana ia kering, di mana ia subur, di mana tak bisa ditanami apa-apa. Di titik ini, ia menolak paksaan dan pura-pura. Pendidikan bukan latihan berpura-pura agar disukai orang dewasa.
Di tengah dunia yang kini riuh dengan kurikulum, silabus, dan penilaian, suara Locke terdengar seperti bisikan dari lorong waktu. Ia tidak menawarkan sistem. Ia hanya memberi “some thoughts.” Ia menolak hukuman fisik bukan karena kelembutan semata, tapi karena ia ingin anak-anak belajar menolak godaan, bukan karena takut dipukul, tapi karena tahu apa yang patut. Pendidikan adalah latihan moral, bukan sekadar akumulasi informasi.
Dan mungkin, pada akhirnya, itulah pendidikan sejati: bukan membuat anak pintar, tapi membuat mereka mampu berpikir, mampu mengendalikan diri, dan pelan-pelan menjadi manusia.
Kita hidup di zaman yang sibuk mencari metode pembelajaran paling efektif. Dice and play-things, kata Locke, cukup untuk mengajarkan alfabet. Tapi barangkali kita lupa, alfabet hanya penting sejauh ia membawa anak pada dunia ide, bukan sekadar rangkaian huruf. Locke tak ingin mencetak anak jadi mesin hafal. Ia ingin membentuk manusia yang bisa memeriksa dorongan dalam dirinya sendiri, dan berkata: “Aku memilih ini karena aku tahu mengapa.”
Malam ini, di sebuah sudut rumah, anak itu masih berdiri di balik jendela. Mungkin ia tak tahu bahwa tubuhnya yang menyentuh lantai dingin adalah bagian dari pendidikan. Bahwa jam bermainnya bukan sekadar pelarian dari buku pelajaran, tapi latihan kecil tentang kehidupan. Bahwa setiap keputusan kecil yang ia buat, untuk jujur, untuk sabar, untuk bertanya, adalah pelajaran yang tak tercetak di silabus manapun.
Dan kita, para orang tua, guru, pengamat, dan pejalan tua, barangkali hanya bisa mengukir sedikit demi sedikit pada kertas lilin itu. Dengan sabar. Dengan cinta. Dengan keyakinan bahwa jiwa yang terlatih adalah hadiah terbaik yang bisa diberikan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya.
Bukan sekolah yang agung. Bukan sistem yang canggih. Tapi kebiasaan-kebiasaan kecil, yang mengakar diam-diam, dan membentuk manusia yang tahu arah angin dan tetap memilih berjalan melawannya, jika itu lebih baik.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar