ZMedia Purwodadi

Membaca Dunia Sebelum Membaca Kata

Table of Contents

Ada sebuah dusun di lembah, tertidur oleh debur angin dan desah bambu. Di sana, seorang anak kecil duduk di atas batu, menatap seekor semut yang sedang memanggul remah. Ia belum bisa membaca abjad, tetapi ia membaca kehidupan: bahwa kerja adalah kelanjutan dari lapar, bahwa kebersamaan para semut tak pernah tertulis, tetapi bisa dilihat, dirasakan, dipahami.

Paulo Freire barangkali ingin memulai dari situ: dari dunia yang sudah dibaca bahkan sebelum kata dikenalkan. Pendidikan, menurutnya, bukan tentang menuangkan isi pikiran guru ke dalam kepala kosong murid. Ia bukan transfer data, bukan transaksi pengetahuan. Ia adalah perjumpaan dua kesadaran, sang pendidik dan sang dididik, yang saling mengubah.

Freire menyebut sistem yang lazim sebagai "pendidikan gaya bank", seperti seseorang menyetor kata-kata dan konsep ke dalam tabungan pasif. Ia mengecamnya. Karena dalam sistem itu, si murid bukanlah subjek, melainkan objek. Ia dijejali, bukan dibangkitkan. Dunia tak pernah dibaca, hanya dihafalkan.


Bayangkan seorang petani yang ditanya oleh seorang guru: “Apa itu cuaca?” Si petani menyebut langit, mendung, musim. Tapi guru berkata: “Cuaca adalah kondisi atmosfer yang diukur berdasarkan temperatur, kelembapan, dan tekanan.” Maka petani itu pun merasa gagal, karena kata-katanya tak masuk kurikulum. Tapi siapa yang benar-benar membaca cuaca?

Freire ingin memulihkan martabat pengalaman. Bahwa pengetahuan tak lahir dari definisi, tetapi dari dialog. Bahwa pendidikan bukanlah domestikasi, tapi praksis: gabungan dari aksi dan refleksi. Ia menginginkan murid untuk menjadi penulis dunia mereka, bukan hanya pembaca. Dan untuk itu, ia menyarankan dialog yang horizontal, bukan khotbah vertikal.

Suatu malam, di Recife, kota kelahiran Freire, para buruh berkumpul di rumah-rumah baca yang dibangunnya. Mereka tak memulai dari alfabet. Mereka memulai dari "tanah", "kerja", "kelaparan", kata-kata yang berdenyut dalam hidup mereka. Dari sana, mereka mengenali struktur. Dari struktur, mereka menemukan relasi. Dari relasi, lahirlah kesadaran kritis.

Kesadaran, bagi Freire, bukanlah milik elite intelektual. Ia adalah hak semua orang yang mampu menyadari penindasan dan menolak untuk tunduk. Pendidikan, maka, adalah proses memanusiakan manusia, bukan memformatnya menjadi alat.

Di sini, Freire menjauh dari pendidikan yang netral. Karena, katanya, “tidak ada pendidikan yang netral.” Setiap kurikulum adalah pilihan ideologis. Apakah ia memperkuat status quo atau menantangnya? Apakah ia membisukan atau memberdayakan?

Freire tidak sedang mengusung revolusi marah. Ia mengusung cinta. Tapi cinta yang bersifat politis. Cinta yang tidak rela melihat manusia dibungkam. “Dialog,” tulisnya, “tidak bisa terjadi tanpa cinta.” Karena hanya cinta yang membuat kita benar-benar mendengar.

Saya membayangkan seorang guru desa yang membaca Freire sambil mencatat di sela-sela halaman: “Bagaimana caranya?” Ia terbiasa berdiri di depan kelas, memberi soal, memberi nilai, memberi perintah. Tapi apakah ia pernah memberi telinga?

Freire bukan seorang utopis buta. Ia tahu bahwa sistem mengekang. Tapi ia juga tahu bahwa perubahan bisa dimulai dari satu hubungan pedagogis yang sejati. Ketika guru berhenti berbicara, dan mulai bertanya. Ketika ia melihat bahwa setiap anak bukan kertas putih, tapi puisi yang belum selesai.

Dan dalam pendidikan yang demikian, tidak ada akhir. Karena pembebasan bukan tujuan, tapi perjalanan. Ia berawal dari menyadari bahwa dunia bisa diubah, dan bahwa kita bukan pengamat, tapi pelaku. Bahwa sejarah bukan nasib, tapi narasi yang bisa digubah.

Freire dibentuk oleh ketidakadilan. Oleh kemiskinan yang membuatnya kelaparan. Oleh kesadaran bahwa buta huruf bukan karena bodoh, tapi karena ditinggalkan. Ia percaya bahwa kata pertama yang harus diajarkan bukanlah “A” tapi “kenapa”. Karena dari “kenapa”, kita mulai menggugat. Dan dari menggugat, kita mulai menggubah.

Ia menyebutnya “conscientização”, kesadaran kritis. Bukan hanya menyadari dunia, tapi menyadari bahwa dunia itu bisa dan harus diubah. Pendidikan, dalam lensa ini, bukanlah cermin, tapi jendela. Dan kadang, palu.

Kini, banyak yang mengutip Freire. Tapi sedikit yang menghayatinya. Ia dijadikan jargon dalam seminar, bukan praktik dalam ruang kelas. Kata “transformasi” didaur ulang menjadi poster, tapi tidak pernah menyentuh metode.

Padahal, untuk benar-benar menjadi pendidik dalam semangat Freire, kita harus bersedia ditransformasi. Harus belajar untuk tak berkuasa. Harus bersedia untuk tidak selalu tahu. Karena dalam pendidikan yang sejati, guru dan murid tumbuh bersama dalam kerendahan hati dan rasa ingin tahu.

Seorang anak yang bertanya, “Mengapa langit tak jatuh?” adalah awal dari revolusi kecil. Dan guru yang tidak menjawab dengan definisi, tapi dengan pertanyaan lain, sedang menanam benih dialog.

Di ujung senja, ketika cahaya bergeser dan suara jangkrik menggantikan suara kelas, barangkali kita bisa mengingat Freire. Bukan sebagai tokoh, tetapi sebagai pengingat. Bahwa pendidikan bukan tentang menguasai isi kepala, tapi membebaskan isi jiwa.

Dan bahwa setiap anak yang lahir, bahkan sebelum mengenal huruf, telah membaca dunia dengan caranya sendiri. Kita hanya perlu mendengarkannya.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day 

Posting Komentar