ZMedia Purwodadi

Komik dan Kejernihan Berpikir Anak-Anak

Daftar Isi

Suatu sore, aku pernah melihat seorang anak kecil duduk di emperan, mencoret-coret sebuah kertas dengan krayon warna-warni. Gambarannya sederhana: dua orang anak sedang bertengkar karena berebut air dari keran yang mengering. Tapi yang membuatku terdiam adalah apa yang ia tulis di bawahnya: “Kalau air dibagi rata, semua bisa mandi.”

Kadang, dunia yang kompleks bisa dijernihkan oleh tangan mungil yang tak sadar tengah menggambar sebuah tesis tentang keadilan sosial.

Dalam pendidikan, kita terlalu sering percaya bahwa pemikiran rumit hanya mungkin dimiliki oleh mereka yang telah mengakrabi buku-buku filsafat atau teori sosial. Namun, dalam studi yang dilakukan Fadhlan Muchlas Abrori dan rekan-rekannya, kita ditampar pelan oleh kenyataan lain: anak-anak sekolah dasar pun mampu berpikir tentang isu-isu sosial yang melekat dengan sains, selama kita bersedia mengajak mereka bicara dalam bahasa yang mereka mengerti.


Bahasa itu bukan deretan jargon atau ceramah panjang lebar. Bahasa itu adalah cerita. Gambar. Warna. Bahasa itu adalah komik.

Komik, dalam riset ini, bukan hanya sekadar hiburan atau alat visual. Ia menjadi jembatan antara kompleksitas dan kepolosan, antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam bingkai-bingkai kecil itu, anak-anak diajak mengenali bahwa masalah air bukan hanya tentang pipa yang rusak, tetapi juga tentang keadilan, teknologi, dan relasi antarwarga. Mereka diminta tidak hanya menjawab, tetapi merenung. Tidak hanya menilai, tetapi juga mengambil posisi.

Mereka belajar tentang kompleksitas: bahwa masalah tidak datang dari satu arah, bahwa global warming dan kebiasaan manusia bisa saling melipat dalam satu cerita. Mereka diajak untuk mengambil perspektif, menimbang perasaan si penjual air dan si ibu rumah tangga yang harus menunggu giliran. Mereka mencari informasi, seperti ilmuwan cilik yang bertanya berapa liter air dibutuhkan satu keluarga, atau bagaimana menyaring air yang terkontaminasi. Dan mereka juga belajar meragukan: bertanya apakah harga yang ditawarkan pemerintah benar-benar masuk akal atau hanya kedok dari sistem yang tak adil.

Di situlah pendidikan berhenti menjadi hafalan. Ia berubah menjadi perenungan.

Aku teringat pepatah lama: “Seorang anak bukanlah bejana kosong yang harus diisi, melainkan api kecil yang harus dinyalakan.” Tetapi dalam praktiknya, kita terlalu sering menuangkan air [pengetahuan mentah] dan lupa menyulut api. Komik, dalam penelitian ini, tampaknya bekerja sebagai percikan api itu. Ia menyalakan rasa ingin tahu. Ia memicu keberanian untuk mempertanyakan.

Dan lebih dari itu, ia membuka ruang dialog antara ilmu dan nilai, antara fakta dan empati.

Menariknya, penelitian ini tidak tertarik untuk menilai siapa anak yang paling "pintar" secara kuantitatif. Tidak ada skoring tinggi-rendah. Yang dihitung adalah keluasan: seberapa banyak sudut pandang yang bisa dijangkau, seberapa dalam anak-anak mau menyelam ke dalam masalah yang diberikan.

Mereka mungkin belum bisa menyusun argumen seperti makalah akademik, tapi mereka bisa menatap sebuah isu dan berkata, “Ini tidak hanya masalah teknologi, tapi juga soal keadilan.” Dan bukankah itu, pada intinya, inti dari literasi sains yang sejati?

Di tengah dunia yang semakin bising oleh opini yang dangkal dan debat yang kering, hasil riset ini adalah pengingat hening: bahwa anak-anak, dengan segala keterbatasannya, bisa menjadi pemikir yang dalam. Tapi syaratnya satu: kita harus bersedia bicara dengan mereka dalam bahasa yang mampu mereka rangkai menjadi makna.

Dan mungkin, kita yang dewasa pun punya banyak hal untuk belajar dari komik itu. Bahwa ilmu tanpa empati hanya akan menjadi suara nyaring di ruang kosong. Bahwa berpikir kritis tidak berarti harus selalu mencurigai, tetapi juga belajar memahami.

Saya membayangkan ruang kelas yang tidak dipenuhi deretan meja dan papan tulis, tapi dihiasi lembar-lembar komik, penuh warna dan percakapan. Anak-anak duduk melingkar, berdiskusi tentang apakah membuat hujan buatan adalah solusi terbaik atau hanya cara untuk menunda kegagalan pengelolaan lingkungan. Saya membayangkan guru tidak sebagai penceramah, tetapi sebagai pendamping yang bertanya, “Kamu merasa apa saat membaca ini?”

Dan saya membayangkan masa depan: tempat anak-anak itu tumbuh menjadi warga yang tidak hanya cerdas, tetapi juga arif. Yang tidak hanya tahu cara membaca data, tetapi juga merasakan luka dalam cerita.

Mungkin itu yang dimaksud dengan pendidikan: bukan hanya membuat anak tahu lebih banyak, tetapi membuat mereka peduli lebih dalam.

Dan siapa sangka bahwa dari gambar-gambar kecil dalam komik sederhana bisa lahir benih-benih pemikiran yang kelak tumbuh menjadi pohon kebijakan, pohon keadilan.

Yang kita butuhkan, mungkin, hanyalah keberanian untuk mendengarkan mereka, dan selembar komik yang jujur.


Posting Komentar