Ketika Sekolah Kembali Dibuka
Suatu hari, sekolah ditutup. Bukan karena libur panjang atau gempa yang meruntuhkan dinding-dindingnya, melainkan oleh sesuatu yang tak terlihat, yang melayang-layang di udara seperti bisikan rahasia: virus. Dunia yang terbiasa dengan lalu lalang anak-anak, dengan suara pintu kelas yang dibuka tergesa-gesa, mendadak sunyi. Waktu itu, kita percaya semuanya akan berubah. Begitu juga para guru di Finlandia.
Ada keyakinan, atau barangkali harapan, bahwa dari kekacauan itu akan lahir cara mengajar yang baru. Seolah pandemi adalah gempa kecil yang membuka retakan dalam kebiasaan, memberi jalan bagi aliran air yang segar. Mereka, para guru itu, membayangkan mereka akan lebih dekat dengan murid-muridnya secara pribadi, lebih terampil menggunakan teknologi, lebih terbuka pada kolaborasi, dan lebih teliti dalam mencatat jejak langkah para murid.
Tapi apakah perubahan selalu terjadi seperti yang kita harapkan? Atau mungkinkah, seperti air hujan di aspal, harapan itu menggenang sebentar lalu perlahan menguap?
Tapi yang menetap seringkali bukan yang paling dalam.
Para guru berharap, setelah semua itu, mereka akan punya waktu lebih untuk murid-murid yang diam, yang duduk di sudut, yang kerap luput dari perhatian. Bahwa mereka akan lebih sering memberi tepukan di bahu, atau sekadar bertanya, "Bagaimana harimu?" Tapi hidup di ruang kelas, seperti hidup itu sendiri, berjalan dengan kebiasaan yang keras kepala. Harapan itu perlahan larut, seperti cat air di tepi kertas yang terlalu basah.
Mereka juga membayangkan, di masa depan, mereka akan lebih sering bergandengan tangan dengan sesama guru, merencanakan pelajaran bersama, membangun ruang-ruang yang lebih kolaboratif. Tetapi, nyatanya, mereka kembali sibuk dengan ruang-ruang kecil mereka sendiri. Barangkali, karena dinding-dinding sekolah itu, sejak lama, tidak hanya memisahkan kelas, tapi juga memisahkan para guru.
Menariknya, justru ada hal-hal yang tidak mereka duga, yang diam-diam tumbuh seperti rumput liar di sela-sela batu. Mereka menjadi lebih percaya diri. Mereka belajar bahwa mereka bisa bertahan, bahwa dunia tidak runtuh meski pelajaran kadang berjalan di atas sambungan internet yang rapuh. Mereka menjadi lebih sabar menghadapi ketidakpastian, sesuatu yang barangkali tak pernah diajarkan di sekolah pendidikan guru.
Mereka juga mulai memperhalus cara berbicara mereka di kelas, menyusun rencana dengan lebih cermat. Mungkin karena selama mengajar jarak jauh, mereka harus berbicara pada layar yang dingin, dan dari situlah mereka belajar bahwa kata-kata yang tertata adalah jembatan yang lebih kuat. Di masa itu, mereka merekam diri sendiri, dan untuk pertama kalinya, mereka menjadi murid bagi diri mereka sendiri.
Dan anak-anak, setelah lama bicara pada layar, kembali ke kelas dengan mulut yang lebih terbuka. Mereka ingin bercerita, ingin didengar, seolah menagih waktu yang dulu dirampas jarak. Di sinilah, pelajaran yang tidak dicatat dalam kurikulum itu mengalir: bahwa rindu bisa menjadi metode belajar yang paling ampuh.
Barangkali, perubahan tidak selalu datang seperti rencana yang kita susun dalam rapat. Ia sering muncul dari celah-celah yang tak terduga. Seperti bunga liar yang tumbuh bukan di taman yang dirawat, tapi di pinggir jalan yang terlupakan.
Para guru di Finlandia menemukan bahwa apa yang mereka harapkan belum tentu terjadi, dan apa yang terjadi belum tentu mereka duga. Bukankah itu juga cara hidup bekerja pada kita semua? Kita menetapkan tujuan, menaruh ekspektasi, lalu waktu dan kenyataan berjalan dengan caranya sendiri. Dan kadang, justru dari situ, kita belajar sesuatu yang lebih dalam dari sekadar metode pengajaran. Kita belajar tentang ketidakpastian, tentang menerima, dan tentang menjadi lentur.
Akhirnya, yang tersisa bukan hanya teknologi yang bertahan atau metode yang diperhalus, melainkan sepotong kesadaran: bahwa mengajar, seperti hidup, selalu tentang belajar lagi. Belajar menyesuaikan diri. Belajar melepaskan. Belajar mengakui bahwa kita tidak selalu tahu, dan barangkali, tidak perlu selalu tahu.
Begitulah, sekolah dibuka kembali. Tapi mungkin, yang lebih penting, ruang di dalam diri para guru itu juga perlahan terbuka.
Posting Komentar