Ketika Alam Menyusun Puisinya Sendiri
Ada yang selalu sunyi ketika kita bicara tentang alam. Bukan karena ia tidak bersuara, tetapi karena telinga kita terlalu penuh oleh denting mesin dan riuh layar. Kadang, butuh sebuah jeda. Sebuah perhentian. Dan kadang, jeda itu datang bukan dalam bentuk dokumen atau ceramah, tapi dalam kehadiran seekor ikan dari anyaman sulur, terombang-ambing di danau yang tenang.
Begitulah Floating Land di Noosa memulai percakapan, bukan dengan kata-kata, tapi dengan bisikan. Sebuah festival, ya, tapi juga sebuah meditasi. Di sana, julara, ikan kecil yang menjadi nyawa dalam kisah masyarakat Kabi Kabi, dihadirkan kembali dalam bentuk patung, jaring, dan serat alami. Bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk diceritakan ulang, disulam kembali dalam kesadaran orang-orang yang mungkin lupa bahwa danau juga punya ingatan.
Apa yang bisa dilakukan seni terhadap bumi yang terluka?
Di North Devon, kepala-kepala raksasa dari anyaman tergantung di pepohonan. Mereka bukan patung, melainkan penjaga. Ditenun oleh tangan-tangan anak sekolah, dihiasi tanaman yang tumbuh perlahan, mereka menatap waktu seperti menatap anak cucu sendiri. Di bawahnya, anak-anak menggambar, menulis cerita, menamai hutan seperti menamai teman. Di sinilah, pendidikan lingkungan tidak diajarkan, melainkan dialami.
Kita sering mengira bahwa belajar berarti menerima informasi. Tapi belajar, sebagaimana ditunjukkan oleh seni lingkungan ini, adalah peristiwa perasaan. Sebuah tubuh yang disentuh oleh warna langit senja, sebuah hati yang bergerak saat cahaya dipantulkan dari permukaan air. Ketika itu terjadi, kita tidak hanya belajar tentang lingkungan. Kita belajar tentang bagaimana kita menjadi bagian darinya.
Dua biosfer ini, satu di belahan bumi selatan dan satu di utara, berbicara dalam bahasa yang sama: imajinasi. Mereka menunjukkan bahwa kita tidak harus menjadi ilmuwan atau aktivis untuk menjaga bumi. Cukup menjadi manusia yang mampu mendengar pohon bergoyang, mampu merasakan sunyi seekor burung yang kehilangan hutan.
Seni, dalam konteks ini, bukan lagi pelengkap. Ia adalah jembatan. Ia menjembatani sains dan hati. Ia tidak membujuk dengan data, tapi dengan kesunyian yang menyentuh. Ia tidak menyuruh kita berubah, tapi membuat kita ingin berubah.
Dan dalam proses itu, komunitas terbentuk. Di Noosa, festival bukan hanya soal karya, tapi tentang duduk bersama di pinggir danau, berbincang dengan tetangga, menyentuh serat alami, membuat sesuatu bersama. Di North Devon, anak-anak menjadi pencerita, bukan pendengar pasif. Mereka menciptakan kisah mereka sendiri, menjahit masa depan dalam benang-benang kesadaran ekologis.
Apakah ini cukup untuk menyelamatkan dunia?
Mungkin tidak. Tapi seperti kata seorang peserta Floating Land, “Saya datang hanya untuk melihat seni, dan pulang dengan keinginan untuk berubah.” Sebuah benih ditanam di sana. Dan siapa tahu, dari satu benih kecil itu, lahir sekian pohon keputusan.
Pada akhirnya, dunia tidak berubah oleh teori besar, melainkan oleh kilasan kecil: seseorang yang memutuskan berhenti membuang sampah, seorang anak yang mulai memungut plastik di pantai, seorang guru yang membawa muridnya keluar kelas hanya untuk mendengar angin. Dan kadang, semua itu berawal dari sebuah kepala raksasa di hutan atau seekor julara dari anyaman.
Seni lingkungan, seperti yang diamati di dua Biosphere Reserves ini, bukan hanya medium ekspresi. Ia adalah cara untuk mendekatkan kembali manusia pada tanahnya. Ia tidak bicara keras, tapi meresap pelan-pelan. Seperti air yang mengikis batu, ia bekerja dalam kesabaran.
Dan mungkin, dalam zaman yang serba cepat ini, kesabaran adalah bentuk radikal dari harapan.
Posting Komentar