ZMedia Purwodadi

Kebenaran yang Terkurung dalam Sistem

Daftar Isi

Ada sebuah desa di lereng bukit, yang jalannya melingkar, tak pernah lurus. Orang-orang di sana berkata: kalau kau ingin sampai ke rumah siapa pun, jangan berjalan lurus, karena jalan yang lurus hanya akan menyesatkan. Jalur yang bengkok, berliku, dan kadang kembali ke titik awal, itulah satu-satunya cara mengenal siapa-siapa.

Mungkin Campbell sedang berbicara tentang desa semacam itu, saat ia menulis tentang ilmu pengetahuan, kebijakan publik, dan pendidikan sebagai sistem yang hidup dalam ketegangan antara kebenaran dan efektivitas. Di mata Campbell, pengetahuan tidak berdiri sendiri, ia selalu merambat di dinding sistem sosial, kadang mengalir, kadang membeku.

Ia percaya pada ilmu pengetahuan, tapi juga curiga padanya. Persis seperti kita mencintai seseorang, tapi tahu ia bisa melukai. Sains bagi Campbell bukan menara gading, tapi organisme yang hidup dalam jaring sosial yang kompleks. Dan jika kita tidak waspada, ilmu itu bisa berubah menjadi alat kekuasaan, menyesatkan bukan karena niat jahat, tapi karena sistem yang terlalu percaya pada dirinya sendiri.


Dalam dunia Campbell, kebijakan bukanlah produk dari kebenaran murni. Ia adalah negosiasi antara harapan dan kenyataan, antara ideal dan yang mungkin. Di sinilah muncul konsep “evolutionary epistemology”, gagasan bahwa ilmu berkembang bukan lewat penemuan kebenaran mutlak, tapi lewat proses coba-salah yang mirip seleksi alam. Gagasan diuji, diterapkan, gagal, lalu diperbaiki. Kebenaran tumbuh seperti rumput, tidak pernah selesai, selalu sementara.

Namun Campbell tidak pesimistis. Ia hanya ingin kita rendah hati. Ia tahu, setiap sistem evaluasi yang kita bangun, indikator, target, akreditasi, selalu membawa resiko merusak tujuan awalnya. Makin kita mengejar angka, makin kita tergelincir dari makna. Fenomena ini ia sebut sebagai “Goodhart’s Law”: ketika indikator menjadi target, ia berhenti menjadi indikator.

Seperti sekolah yang hanya mengejar nilai ujian. Seperti rumah sakit yang lebih fokus pada statistik kesembuhan daripada proses penyembuhan itu sendiri. Kita kehilangan tujuan karena terjebak dalam ukuran.

Campbell tidak mengajak kita keluar dari sistem. Ia justru mengajak kita meragukannya dari dalam. Ia menyukai eksperimen sosial, kebijakan yang diuji secara ilmiah lewat metode quasi-experiment. Tapi ia juga sadar, tak semua hal bisa dibekukan dalam statistik. Ada semacam kepekaan moral yang tak bisa dihitung, hanya bisa dirasakan. Seperti mengukur bau hujan di awal musim, atau suara ibu ketika memanggil pulang.

Untuk itu, ia menawarkan ide tentang “pluralisme metodologis”, menggabungkan berbagai pendekatan untuk memahami kenyataan. Jangan hanya mengandalkan kuantitatif, tapi juga lihat narasi, dengar cerita. Dalam dunia yang terlalu kompleks, satu metode tak cukup. Kita butuh keberagaman cara melihat, sebagaimana seekor burung butuh dua sayap untuk terbang.

Tapi mungkin yang paling menggugah adalah peringatan Campbell tentang korupsi sistemik yang timbul dari niat baik. Ia mengamati, bahwa sistem evaluasi yang ketat, bila tak disertai mekanisme umpan balik dan kesadaran etis, akan mendorong manipulasi. Institusi akan terlihat baik di atas kertas, tapi di dalamnya retak.

Ia menulis ini bukan dari menara pengamat. Ia masuk ke dalam sistem, melakukan evaluasi kebijakan publik di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Ia tahu betapa rumitnya realitas lapangan. Dan dari sanalah ia menyusun etika baru: etika evaluasi yang jujur, sadar akan keterbatasan, dan selalu terbuka untuk koreksi.

Saya membayangkan Campbell duduk di ruang yang penuh laporan. Di sekelilingnya grafik, angka, kurva. Tapi ia tidak menatap angka-angka itu dengan kekaguman kosong. Ia menatapnya seperti petani menatap cuaca, penuh harap, tapi juga waspada. Karena ia tahu, satu grafik tak bisa menjelaskan penderitaan ibu yang anaknya tak bisa sekolah. Satu indeks tak bisa menggambarkan ketakutan pasien yang menunggu diagnosis kanker.

Ilmu harus kembali menjadi jembatan, bukan benteng. Evaluasi bukanlah alat hukuman, tapi cermin untuk bercermin. Dalam dunia Campbell, pendidikan bukan hanya soal hasil belajar, tapi proses menjadi manusia yang utuh, yang tahu bahwa belajar berarti mengubah diri, bukan hanya mencetak nilai.

Kita hidup dalam dunia yang semakin terukur. Tapi semakin kita mengukur, semakin kita kehilangan hal-hal yang tak bisa diukur. Cinta, empati, keadilan, harapan, semuanya tidak muncul di tabel Excel. Tapi justru di sanalah pendidikan harus berakar.

Mungkin seperti desa yang jalannya tak pernah lurus. Tempat kita belajar bahwa tak semua tujuan bisa dicapai dengan kecepatan. Kadang kita harus melambat, memutar, bertanya. Dan dalam keheningan itulah, pengetahuan sejati muncul, bukan sebagai jawaban, tapi sebagai pertanyaan yang membuat kita terus berjalan.


Referensi: Fifty Modern Thinkers on Education: From Piaget to the Present Day

Posting Komentar