ZMedia Purwodadi

Ingatan yang Rapuh

Daftar Isi

Ada sebuah hari di ruang kelas yang tak pernah tercatat dalam buku sejarah, tapi hidup diam-diam dalam warna-warna pastel dan potongan kertas yang direkatkan anak-anak. Di antara tumpukan krayon dan layar interaktif yang menyala, ada keheningan kecil yang merenung: apa arti ingatan bagi manusia?

Anak-anak itu belum mengenal usia yang mengabur atau waktu yang menipiskan nama. Tapi mereka diajak menyelami dunia yang mulai dilupakan oleh sebagian jiwa tua, dunia yang retak, yang disebut “dementia”. Dan di sinilah ironi itu lahir: bahwa anak-anak, yang masih belajar mengeja masa lalu mereka sendiri, diajari tentang kehilangan masa lalu oleh orang dewasa yang sedang mengejar masa depan.

Di kelas itu, pelajaran tak dimulai dengan definisi, tetapi dengan kenangan. “Lukiskan satu memori,” kata guru. Dan kertas-kertas pun dipenuhi warna: seekor kucing kecil di pelukan, gaun yang berputar di pesta pernikahan, suara tawa yang tak bisa digambarkan tapi bisa dirasakan dalam goresan krayon yang cerah. Ingatan bagi anak-anak adalah sesuatu yang cerah, utuh, dan hangat, sesuatu yang bisa digambar.


Kemudian, teknologi datang. Layar menyala, video diputar. Tentang otak yang menyusut. Tentang orang tua yang lupa jalan pulang. Tentang nenek yang lupa nama cucunya. Anak-anak menatap layar itu, diam, sesekali mengangguk, kadang-kadang bertanya. “Apa rasanya lupa semua yang kita sayangi?” tanya seorang anak, bukan pada guru, tapi pada udara yang tak menjawab.

Pelajaran berikutnya mengajak mereka mengubah gambar pertama. “Bayangkan jika kenangan itu tak lagi utuh,” kata guru. Maka cat ditimpa sobekan kertas. Gambar jadi kabur. Warna yang semula terang dipudarkan, sebagian ditutupi tinta gelap. Mereka sedang mencoba menjadi seseorang yang mulai lupa. Dan dalam usaha itu, ada empati yang lahir: bukan dari teori, bukan dari nasihat, tapi dari tindakan merobek, menutup, dan mengganti. Begitulah anak-anak itu belajar bukan sekadar tentang penyakit, tapi tentang menjadi manusia.

Di antara alat-alat yang dipakai, dari kertas lusuh hingga papan pintar interaktif, ada perenungan tentang cara manusia belajar. Layar mungkin menyampaikan informasi, tapi tangan yang kotor karena cat menyampaikan pengalaman. Suara yang direkam video menyimpan kalimat, tapi obrolan spontan sambil berbagi spidol menyimpan makna. Dan mungkin, justru dalam alat-alat sederhana seperti krayon, kertas, dan lem, anak-anak lebih bebas mengekspresikan pemahaman mereka. Mungkin karena teknologi lama lebih lambat, dan dalam kelambatan itulah kita punya ruang untuk merasa.

Guru yang juga peneliti, mencatat diam-diam di sela-sela kegiatan. Ia bukan hanya mengamati, tapi ikut menyelami. Ia mencatat bahwa anak-anak lebih berbicara saat menggambar, dan lebih diam saat direkam kamera. Bahwa mereka tertawa saat bermain game edukatif di papan interaktif, tapi lebih hening ketika membicarakan pengalaman pribadi. Ia mencatat bukan demi statistik, tapi demi memahami: bagaimana teknologi, baik yang tua maupun yang muda, menjadi jembatan untuk pengertian.

Dementia bukan hanya soal lupa. Ia adalah cermin yang memaksa kita melihat apa yang paling kita takuti: hilangnya kendali atas siapa diri kita. Dan ketika anak-anak belajar tentang itu, mereka tak hanya belajar ilmu kesehatan. Mereka belajar mengenali kerentanan manusia, sesuatu yang bahkan orang dewasa pun sulit hadapi.

Pelajaran itu hanya tiga sesi, satu jam setiap minggunya. Tapi dampaknya? Barangkali lebih panjang dari ingatan itu sendiri. Dalam seni yang dibuat dan diubah, dalam dialog yang spontan dan terekam samar, ada sesuatu yang tumbuh: empati. Dan barangkali, dunia tak pernah kekurangan pengetahuan, tapi sangat membutuhkan lebih banyak empati.

Di masa yang semakin digital ini, kita mudah terpesona pada teknologi terbaru. Tapi kadang, justru yang tua seperti pensil kayu, lem kertas, dan suara pelan antar teman, yang membawa kita lebih dekat pada pemahaman yang sejati. Pelajaran dari ruang kelas ini bukan sekadar tentang penyakit yang menghapus ingatan, tapi tentang pentingnya mengingat: bahwa dalam dunia yang terus bergerak maju, kita tak boleh melupakan cara-cara lama yang membuat kita lebih manusia.

Dan di situlah, barangkali, pelajaran sesungguhnya terjadi: saat anak-anak menggambar bukan hanya dengan tangan mereka, tapi dengan hati mereka.


Posting Komentar