ZMedia Purwodadi

Guru, Bayang-Bayang, dan Terang yang Mengasuh

Daftar Isi

Di suatu pagi di Oromia, Ethiopia, seorang guru muda berdiri di depan papan tulis. Kapur di tangannya bukan sekadar alat tulis; ia adalah tongkat sihir yang gemetar. Di belakangnya, kelas berisik dengan harapan yang belum sempat diucapkan. Guru itu baru saja lulus pelatihan. Ia belum tahu, bahwa belajar menjadi guru tidak berhenti di kelas-kelas metodologi atau pedagogi. Ia belum tahu, bahwa menjadi guru adalah meniti lorong sunyi. Di lorong itu, kadang kita butuh tangan yang menuntun.

Mentoring dan coaching, dalam dunia pendidikan, bukanlah prosedur administratif. Ia adalah bahasa diam dari satu jiwa ke jiwa lain. Ia adalah jembatan yang dibuat dari kata-kata empati, dari waktu yang diberi, dari kesediaan mendengar.

Namun betapa sering jembatan itu rapuh, atau tak selesai dibangun.


Di sekolah-sekolah tempat penelitian ini dilakukan, mentoring dan coaching belum sepenuhnya hidup sebagai praktik yang menghidupi. Mereka lebih sering hadir sebagai formalitas, bukannya ruang kontemplasi dan pembaharuan. Ada mentor, tapi tak ada waktu. Ada protokol, tapi tanpa ruh. Ada relasi, tapi tanpa percakapan yang sungguh-sungguh.

Bayangkan seorang guru senior diminta membimbing tujuh guru baru sekaligus. Bagaimana ia bisa mengenal tiap mimpi, ketakutan, dan keraguan mereka? Dalam praktik mentoring yang baik, setiap guru baru seharusnya menjadi taman yang diperhatikan dengan seksama—diraba tanahnya, dilihat daunnya, dirasakan kelembaban akarnya. Tapi dalam kenyataan, mereka hanya sempat dicatat namanya dan diteken portofolionya.

Dan bagaimana dengan coaching? Ia seharusnya menjadi ruang di mana guru berpengalaman membuka dirinya kembali pada ketidaktahuan. Sebuah kesediaan untuk ditantang, dibuka, ditumbuhkan. Namun ketika coaching dijalankan tanpa panduan yang hidup, ia kehilangan keajaibannya. Ia menjadi seperti latihan tanpa napas, seperti orkestra tanpa konduktor.

Dalam temuan penelitian ini, efek mentoring pada kompetensi guru baru hanya menyumbang sekitar 24%. Coaching pada guru berpengalaman menyumbang 18%. Angka-angka ini tak hanya bicara statistik. Mereka adalah kisah tentang potensi yang belum digarap dengan sungguh. Mereka mengingatkan kita bahwa profesionalisme bukan semata hasil pelatihan, tapi buah dari relasi yang hangat dan jujur.

Di titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih dalam: apakah kita masih percaya pada pendidikan sebagai proses relasional? Atau kita terjebak dalam manajemen teknis yang kehilangan jiwanya?

Sebab pendidikan, sejatinya, adalah praktik merawat. Dan merawat hanya mungkin jika ada waktu yang diperlambat, jika ada keberanian untuk hadir, sungguh-sungguh hadir. Dalam dunia yang tergesa, mentoring adalah praktik melawan waktu. Ia mengajak kita untuk duduk bersama, minum teh bersama, bertanya bukan hanya “apa yang kau ajarkan hari ini?” tapi “bagaimana perasaanmu setelah mengajar hari ini?”

Coaching yang sejati bukanlah penilaian, tapi percakapan. Ia bukan peta yang dibentangkan dari atas, tapi jalan yang ditelusuri bersama dari bawah. Ia tidak memaksa guru berubah, tapi memanggil mereka untuk tumbuh. Dan tumbuh, sebagaimana semua hal yang hidup, butuh kesabaran, pengulangan, dan cinta.

Dalam refleksi ini, saya membayangkan sekolah sebagai taman. Guru-guru baru adalah tunas yang rapuh. Guru-guru lama adalah pohon yang rindang, tapi juga bisa layu jika tak dirawat. Mentoring dan coaching adalah matahari dan air. Tanpa keduanya, tak akan ada bunga.

Jika kita ingin murid-murid terlibat dalam pembelajaran, maka kita harus bertanya: apakah guru-guru mereka merasa didengarkan? Apakah mereka tumbuh, atau justru menyusut dalam kesepian profesional? Pendidikan yang besar tak lahir dari kurikulum yang canggih, tapi dari manusia yang merasa cukup aman untuk mencoba hal baru, dan cukup dicintai untuk tidak takut gagal.

Di akhir hari, mungkin bukan metode, bukan data, bukan sistem yang paling menentukan perubahan. Tapi satu percakapan yang jujur. Satu mentor yang hadir dengan penuh perhatian. Satu coach yang bertanya bukan untuk menghakimi, tapi untuk membuka kemungkinan baru.

Karena sesungguhnya, menjadi guru adalah seperti berdiri di ambang cahaya dan bayang-bayang. Kita semua butuh seseorang yang bersedia menyalakan lentera di tengah kabut.


Posting Komentar