Di Dalam Hutan yang Tidak Dijinakkan
Ada sebuah hutan di dalam jiwa manusia. Hutan itu liar, belum tersentuh, dan sunyi dari kata-kata yang mengatur. Di sana anak-anak berlari tanpa sepatu, tanpa jam pelajaran, tanpa peta peradaban. Rousseau memanggil kita ke hutan itu. Bukan untuk mengungsi, melainkan untuk mengingat.
Dalam dunia yang gemar mengatur, mengklasifikasi, dan melatih anak-anak seperti kuda balap, Rousseau mendengar desir lembut sesuatu yang belum jadi. Ia menyebutnya manusia alami. Bukan primitif, bukan liar, tetapi manusia yang belum dirusak. Sebuah benih moral yang belum disusupi logika pasar atau piala-piala kompetisi.
Aku membayangkan seorang anak laki-laki duduk di tepi danau. Ia memandangi air, bukan karena disuruh, bukan karena ingin mencatat. Ia hanya duduk dan merasa. Dalam duduknya yang sunyi, ia belajar lebih dalam daripada seribu jam pelajaran formal. Rousseau percaya bahwa anak-anak bukan wadah kosong yang harus diisi, melainkan bara yang harus dijaga agar tak padam sebelum waktunya.
Ia menulis Emile, bukan sekadar sebagai manual pedagogi, melainkan semacam puisi panjang tentang kebebasan. Di dalamnya, Emile bukan anak ideal, melainkan lambang dari anak manusia yang dibiarkan menjadi dirinya. Bukan didisiplinkan seperti prajurit kecil, tapi dipandu dalam kesendirian yang kreatif.
“Segala sesuatu yang datang dari tangan Sang Pencipta adalah baik,” tulis Rousseau, “tetapi segala sesuatu yang keluar dari tangan manusia rusak.” Maka tugas pendidikan, dalam pandangannya, bukanlah membentuk manusia menjadi seperti kita, tetapi menjaga agar ia tidak terlalu cepat menjadi kita.
Kadang aku bertanya, mengapa Rousseau mencintai anak-anak dengan sedemikian tak kompromi? Mungkin karena ia melihat di dalam mereka semacam sisa keutuhan yang telah hilang dari orang dewasa. Dalam anak-anak, ia melihat semacam benih dari manusia yang utuh, yang belum terpecah oleh ekspektasi sosial, nilai-nilai palsu, dan kesibukan yang menyamar sebagai produktivitas.
Rousseau bukan orang yang mudah hidupnya. Ia hidup dalam kontradiksi; mengagungkan peran ibu, tapi menyerahkan anak-anaknya ke panti. Tapi mungkin justru dari luka itu ia melihat bahwa pendidikan sejati bukan instruksi, tetapi pendampingan. Bahwa menjadi guru adalah menjadi penunggu senyap, seperti seorang tukang kebun yang tahu kapan harus mundur.
Dalam gagasannya, pendidikan adalah alam yang bekerja. Ia lebih percaya pada musim daripada kurikulum. Ia menulis bahwa anak-anak harus belajar dari pengalaman langsung, bukan dari abstraksi. Mereka harus mencium bunga, bukan membaca deskripsinya. Mereka harus merasa lapar, bukan diberi jadwal makan. Pendidikan, baginya, adalah ritme tubuh, bukan bunyi lonceng.
Rousseau tidak bicara lembut. Ia menggugat. Ia berkata bahwa masyarakatlah yang telah merusak manusia. Ia percaya bahwa kemajuan tidak selalu berarti kebaikan. Di balik peradaban, ada degradasi moral yang sering tidak kita sadari. Maka pendidikan harus menjadi perlawanan terhadap domestikasi yang terlalu dini. Pendidikan, justru, harus menjaga liar itu.
Tapi "liar" di sini bukan buas. Liar adalah belum diatur. Liar adalah belum dibungkam. Liar adalah potensi untuk menjadi. Rousseau menempatkan pendidikan bukan di sekolah, tapi di kehidupan. Ia percaya bahwa anak-anak belajar paling dalam ketika mereka memilih sendiri apa yang ingin mereka ketahui.
Dan karena itu, bagi Rousseau, pendidikan adalah sebuah kepercayaan. Kepercayaan kepada anak-anak untuk tumbuh sesuai ritme mereka. Kepercayaan bahwa alam dan nurani lebih bijak daripada sistem yang dibuat tergesa-gesa.
Malam hari, mungkin Rousseau duduk sendirian, seperti anak kecil yang pernah kehilangan banyak hal. Ia tidak memimpikan sekolah yang lebih besar, melainkan dunia yang lebih sabar. Dunia yang tidak mengukur anak-anak dengan ranking, tetapi dengan rasa ingin tahu. Dunia yang tidak memaksa mereka jadi dewasa sebelum waktunya.
Barangkali itulah sebabnya Emile tetap hidup. Bukan karena ia sistematis, tapi karena ia jujur. Karena ia ditulis bukan oleh seorang ahli pendidikan, tetapi oleh seorang yang bersedih melihat dunia kehilangan kebebasan yang paling awal, kebebasan untuk tumbuh.
Rousseau tidak memberi kita jawaban. Ia memberi kita perasaan. Dan mungkin itu yang paling penting. Dalam dunia yang penuh data dan solusi, ia mengajak kita untuk merasa. Merasa gentingnya masa kanak-kanak. Merasa rapuhnya jiwa yang dibentuk terlalu cepat. Merasa bahwa menjadi manusia tidak bisa dipercepat seperti produksi pabrik.
Ia mengajak kita kembali ke hutan. Bukan untuk tinggal di sana, tapi untuk ingat bahwa sebelum semua ini, sebelum papan tulis, sebelum ranking, sebelum sistem, ada seorang anak yang hanya ingin tahu satu hal: dunia ini indah atau tidak?
Dan itu, barangkali, pertanyaan pendidikan yang sesungguhnya.
Referensi: Fifty Major Thinkers on Education
Posting Komentar