ZMedia Purwodadi

Di Bawah Bayang Acacia

Daftar Isi

Di suatu senja yang anginnya kering dan langitnya memerah, seekor unta berderap perlahan melewati hamparan tanah yang retak. Di kejauhan, bayang-bayang Acacia berdiri seperti doa yang membatu: kokoh, bersahaja, dan sekaligus rapuh. Di sanalah, di bawah naungan pohon-pohon yang menyimpan sejarah mulut ke mulut, proyek pendidikan lingkungan mencoba bertumbuh, seperti rumput pertama yang tumbuh usai hujan di tanah tandus.

Tulisan ini lahir dari catatan Gufu Oba tentang pengalaman UNESCO IPAL di padang gembala kering utara Kenya. Namun, yang menarik dari cerita ini bukan hanya laporan tentang program pendidikan, melainkan tentang pergulatan eksistensial antara dua cara hidup: satu yang dibentuk oleh langkah unta dan ritme hujan, dan satu lagi yang datang membawa klip papan tulis dan proposal-proposal pembangunan.

Kita sering menyangka bahwa mendidik berarti memberi tahu. Tapi di sini, pendidikan justru berarti mendengar. Para nomad, Rendille, Gabbra, Samburu, telah lama menyimpan ilmu dalam nama-nama tempat, dalam legenda tentang padang yang 'menggemukkan' hewan walau tampak gersang, dalam kebijaksanaan bahwa pohon tak hanya memberi kayu, tapi juga waktu. Pendidikan lingkungan, jika ingin bermakna, harus lebih mirip pertukaran doa dalam bahasa ibu ketimbang kuliah dalam bahasa asing.


Proyek UNESCO IPAL menyadari hal ini, setidaknya pada titik tertentu. Mereka tak datang membawa peta usang tentang tanah yang perlu diperbaiki. Mereka mengamati, menanyai, duduk dalam lingkaran-lingkaran para tetua. Mereka masuk lewat naabo, pertemuan malam di pusat kamp yang menjadi panggung bagi filsafat lisan dan demokrasi suku yang tak mengenal kursi.

Namun, bahkan niat baik bisa tergelincir di tanah yang rawan. Pendidikan melalui radio pun berakhir sunyi karena dana habis. Film tentang peternakan Australia ditonton oleh para penggembala unta yang tak pernah melihat sapi putih. Dan pagar bambu gagal bukan karena teknis, tetapi karena lupa satu hal esensial: pagar adalah bagian dari ritual, bukan sekadar benda.

Di sini, kita belajar bahwa perubahan bukan perkara membujuk, melainkan menyentuh saraf-saraf yang tersambung pada sejarah dan makna. Seorang tokoh bernama Lengima bersedia menawarkan untanya untuk program percobaan vaksinasi. Ia tidak buta huruf, meskipun mungkin tak pernah membaca buku. Ia membaca tanah, angin, dan suara dari rahim unta. Ketika akhirnya unta-unta itu bertambah gemuk dan sehat, warga mulai percaya, bukan pada proyek, tetapi pada kemungkinan.

Namun kepercayaan adalah tanaman ringkih. Ketika proyek IPAL berakhir tanpa penjelasan, warga kembali disergap rasa ditinggalkan. “Banyak janji telah diucap di bawah pohon ini,” kata seorang tetua, “namun banyak juga yang telah mati sebelum melihatnya ditepati.” Di antara debu dan deru angin, suara-suara seperti itu menggema lebih lama dari pidato para pejabat.

Dan barangkali, justru di sana letak inti pendidikan lingkungan: bukan pada pengetahuan teknis semata, tetapi pada pembentukan ingatan kolektif, pada seni menyusun harapan dalam wajah realitas yang muram. Bukan kebetulan jika metode perlindungan pohon dilakukan dengan mengecat batangnya merah, warna darah, warna larangan, warna ingatan.

Kisah ini bukan hanya tentang Kenya. Ia bisa jadi cermin bagi banyak proyek pembangunan yang gagal karena terlalu cepat menyimpulkan, terlalu tergesa menyusun solusi sebelum memahami luka. Ia mengingatkan kita bahwa masyarakat bukan papan tulis kosong, melainkan teks hidup yang harus dibaca dengan kesabaran seorang penyair, bukan keangkuhan seorang insinyur.

Pada akhirnya, pendidikan lingkungan di tanah nomadik bukanlah perihal mengajar mereka tentang lingkungan, tapi tentang belajar kembali bagaimana manusia bisa hidup menyatu dengannya. Para penggembala tak butuh definisi degradasi dari buku, karena mereka telah melihat mata air mengering dan pohon mati tanpa pamit.

Mungkin yang dibutuhkan bukan rencana lima tahunan, tapi percakapan yang tak pernah benar-benar usai. Di bawah bayang Acacia, di tengah senyap gurun yang penuh makna, pendidikan sejati mungkin adalah upaya tak henti untuk memahami bahwa tanah, air, dan manusia harus terus-menerus saling menerjemahkan.

Dan dari sana, barangkali, perubahan akan tumbuh. Pelan, seperti semak kecil di awal musim hujan. Tapi akar-akarnya akan dalam.


Sumber baca:

Posting Komentar