Di Balik Sebuah Scarf dan Beanbag
Kadang-kadang, sebuah scarf yang melayang di udara lebih berbicara daripada seribu kata. Di sebuah ruang kelas kecil, di antara tawa yang tersendat dan kaki-kaki mungil yang gemetar, sehelai scarf menjadi jembatan, menjadi tali yang mengikatkan keberanian, menjadi titik di mana imajinasi menyeberang dari "biasa" menuju sesuatu yang belum punya nama.
Kita sering terjebak dalam keyakinan lama: bahwa kreativitas adalah milik mereka yang berbakat, mereka yang pandai merangkai kata atau melukis langit. Kita mengukur, menakar, memberi angka pada sesuatu yang mestinya mengalir bebas. Barangkali, dalam keinginan manusia untuk mengendalikan, kita telah menyempitkan kreativitas menjadi prosedur, menjadi langkah-langkah dalam buku panduan, menjadi soal yang harus dijawab dengan benar.
Tetapi di kelas-kelas kecil itu, di tangan anak-anak yang mungkin tak pernah mendapatkan giliran bicara, kreativitas tidak tumbuh dari buku teks. Ia melompat keluar dari beanbag yang tiba-tiba menjadi kentang panas. Ia menjelma dalam senyap, ketika seorang anak yang takut bicara akhirnya tersenyum karena ia diajak bermain, bukan diuji.
Kita lupa, bahwa dunia tidak selalu berbicara dalam bahasa manusia. Kursi, topi, potongan kain, mereka punya cerita, mereka mengundang tangan-tangan kecil untuk menjelajah, untuk menyentuh, untuk menghidupkan makna yang tersembunyi. Barangkali inilah yang dimaksud Jane Bennett ketika ia berbicara tentang vitality of matter, bahwa benda-benda tidak pernah mati. Mereka hidup di dalam relasi, di dalam sentuhan, di dalam permainan yang tak selesai.
Dan mungkin, pendidikan kita selama ini terlalu memihak kepada kata-kata. Terlalu percaya bahwa berbicara adalah satu-satunya cara untuk menjadi nyata. Tapi di sana, di kelas-kelas itu, seorang anak yang tidak berbicara justru menemukan dirinya saat ia menari di tengah lingkaran, mengayunkan scarf, menciptakan bahasa tubuhnya sendiri. Sebuah bahasa yang tak butuh tata bahasa.
Ada yang berubah. Perlahan. Seperti gerimis yang tanpa kita sadari telah membasahi tanah. Guru-guru mulai membuka ruang. Mereka mulai berani membiarkan pembelajaran mengalir tanpa peta yang terlalu rinci. Seorang guru mengaku, ia takut, takut jika ia harus melepaskan kendali, takut pada ketidakpastian. Tapi mungkin, kreativitas memang lahir di wilayah yang tak pasti, di ruang-ruang di mana anak-anak boleh tersesat, boleh berhenti, boleh menemukan jalannya sendiri.
Proyek ini tidak hanya bicara tentang bagaimana mengajar kreativitas. Ia mengusik cara kita memandang manusia. Dalam lensa posthumanisme, manusia bukan pusat semesta. Meja, kursi, scarf, taman kota, hujan yang turun, mereka semua bagian dari jaringan yang hidup. Mereka mempengaruhi, mereka mengubah, mereka menjadi bagian dari cerita.
Di sebuah taman, anak-anak melempar roket kertas ke udara, seolah mengirim pesan kepada makhluk di planet lain. Angin yang dingin, rerumputan yang basah, langit yang kelabu, semuanya menjadi peserta dalam petualangan itu. Mereka tidak lagi terkurung dalam empat dinding kelas. Dunia menjadi buku yang terbuka lebar.
Kadang kita lupa, bahwa pendidikan bukan hanya soal apa yang diajarkan. Ia juga soal ruang yang kita ciptakan, soal benda-benda yang kita hadirkan, soal kebebasan yang kita izinkan. Dalam cerita ini, scarf bukan sekadar benda. Ia adalah undangan untuk menjadi, untuk mencoba, untuk gagal, untuk tertawa.
Barangkali, kita semua pernah menjadi anak-anak itu, berlari mengejar beanbag, tertawa dalam ketidakpastian, meraba-raba batasan. Tetapi entah kapan, kita mulai menulis aturan, mulai mengukur kreativitas dengan angka, mulai mengurung imajinasi dalam lembar kerja.
Mungkin sudah waktunya kita melempar scarf itu lagi ke udara.
Dan membiarkan ia jatuh di tangan siapa saja yang ingin bermain.
Posting Komentar