ZMedia Purwodadi

Dalam Sunyi Evolusi, Kita Mendidik

Table of Contents

Sebuah pagi yang basah di pedalaman Shrewsbury. Seorang anak lelaki kecil memungut batu, memperhatikan kumbang yang menggali tanah, dan menatap langit yang menggulung awan dengan keheranan yang hening. Ia tak sedang mencari Tuhan, atau menantang kitab suci, hanya ingin tahu bagaimana sesuatu menjadi sesuatu.

Charles Darwin, mungkin tanpa sengaja, memperkenalkan kepada kita sebuah cara pandang tentang pendidikan yang jauh lebih sunyi daripada retorika para pendidik: pendidikan sebagai ketekunan memerhatikan. Ia tak memberi kita kurikulum, tak pula metode pedagogi. Tapi ia memberi kita sebuah metafora besar: evolusi. Dan justru dari situlah cara kita memandang tumbuhnya akal dan budi menjadi terbalik.

Kita terbiasa dengan pengajaran sebagai penanaman nilai, sebagai pendistribusian pengetahuan yang telah selesai. Tapi Darwin mengajarkan sebaliknya: bahwa hidup, dan oleh karenanya belajar, adalah hasil dari seleksi tak terlihat. Sebuah proses perlahan yang bertumbuh bukan karena dipaksa, tetapi karena menyesuaikan.


Dalam dunia Darwin, tidak ada tujuan final. Tidak ada desain dari atas. Yang ada hanya perubahan, perlahan, senyap, dan tak selalu bermakna jelas. Tapi dari situlah kita belajar bahwa manusia, sebagaimana makhluk lainnya, bukanlah hasil jadi. Manusia adalah cerita panjang ketidaksempurnaan.

Kita sering lupa bahwa Darwin bukan seorang filsuf pendidikan. Namun gagasannya, seperti air hujan yang meresap ke akar, pelan-pelan mengubah tanah tempat berpijaknya pendidikan modern. Ia mengusulkan gagasan yang radikal: bahwa semua makhluk hidup, termasuk manusia, adalah bagian dari jaringan kehidupan yang saling berkait. Dalam pendidikan, ini berarti mengakui bahwa peserta didik bukan lembar kosong. Mereka adalah organisme yang hidup dalam relasi, dalam konteks, dalam waktu.

Darwin tidak mengatakan bahwa manusia adalah pusat dari segala. Justru sebaliknya, ia menempatkan manusia sebagai bagian dari garis besar yang lebih luas. Sebuah rantai panjang yang melintasi berjuta tahun, yang menjatuhkan kesombongan intelektual yang selama ini menjadikan manusia sebagai makhluk terpisah.

Maka dari itu, pendidikan bukanlah proses menciptakan makhluk unggul. Pendidikan adalah menemani perjalanan adaptasi yang unik dari setiap individu. Pendidikan yang berakar dari Darwin akan lebih menghargai perbedaan daripada menyeragamkan. Ia akan lebih sabar menunggu tunas tumbuh daripada memaksa buah berbuah sebelum musimnya.

Bayangkan sejenak seorang anak di ruang kelas. Ia gelisah, tak bisa diam, pikirannya melompat-lompat seperti burung pipit di sawah. Ia tak menghafal rumus, tak mengerti mengapa sejarah harus dibaca sebagai deret tanggal. Di mata sistem, ia anak yang gagal. Tapi di mata evolusi, ia mungkin hanya sedang mencari cabang yang berbeda. Bukan rusak, hanya berbeda jalur adaptasi.

Darwin mengingatkan bahwa keragaman adalah bahan bakar kehidupan. Dalam The Origin of Species, ia menekankan pentingnya variasi dalam seleksi alam. Variasi itu, dalam konteks pendidikan, adalah perbedaan cara belajar, minat, ritme berpikir. Dunia yang sehat adalah dunia yang tidak menyeragamkan.

Pendidikan, jika ingin sejati, harus membuka ruang bagi kemungkinan-kemungkinan yang tak terpikirkan. Karena, seperti dalam alam, kadang yang tampak lemah hari ini justru yang bertahan esok hari. Dan mereka yang dianggap lambat sekarang bisa jadi adalah yang paling tangguh menghadapi perubahan yang datang diam-diam.

Tapi tak semua orang nyaman dengan gagasan Darwin. Evolusi sering dianggap dingin, tanpa makna moral, tanpa tangan ilahi. Ia tak memberikan harapan akan kesempurnaan, tak menjanjikan surga. Namun justru di situlah pendidikan menemukan ruang kontemplasi. Bahwa kita hidup bukan untuk menjadi sempurna, melainkan untuk menjadi sejati.

Pendidikan ala Darwin bukan sekadar soal ilmu alam. Ia adalah semangat untuk mempertanyakan, untuk mengamati, untuk tidak buru-buru menyimpulkan. Dalam dunia yang makin tergesa, pendidikan seperti ini adalah bentuk perlawanan. Ia mengajarkan sabar, ketekunan, dan penghormatan pada proses.

Bagi Darwin, belajar bukanlah naik tangga menuju puncak. Belajar adalah berjalan perlahan di jalan setapak yang bercabang-cabang. Kadang buntu, kadang berputar. Dan dari kegagalan-kegagalan kecil itulah, tumbuh pemahaman yang lebih dalam.

Ada yang berkata bahwa kita tak lagi butuh Darwin. Bahwa dunia kini lebih cepat, lebih canggih, dan pendidikan harus menjawab tuntutan zaman. Tapi barangkali justru kini, di tengah obsesi akan hasil cepat dan keseragaman, kita lebih butuh Darwin daripada sebelumnya. Kita butuh ingatan akan kerendahan hati intelektual. Bahwa memahami dunia dan memahami manusia butuh waktu, serta butuh keberanian untuk tak segera tahu.

Suatu hari, anak kecil itu, yang memungut kumbang di kebun dan menyimpan kerang di saku, tumbuh menjadi pria tua yang menulis dengan ragu-ragu, takut bahwa gagasannya akan mengguncang iman banyak orang. Tapi sejarah mencatatnya bukan sebagai penghancur, melainkan sebagai penjelas. Ia menjelaskan bahwa hidup bukanlah bangunan, tapi hutan. Bahwa pendidikan bukanlah jalur cepat, tapi pelayaran panjang dengan arah yang tak selalu jelas.

Dalam sunyi evolusi itu, kita belajar bukan untuk menjadi siapa-siapa, tapi untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar