ZMedia Purwodadi

Dalam Sunyi Bahasa dan Jiwa

Daftar Isi

Pernahkah Anda memperhatikan seorang anak kecil ketika ia berbicara dengan dirinya sendiri, bukan karena ia gila, tetapi karena ia tengah belajar menamai dunia? Di situ, dalam suara-suara pertama yang belum sempurna, dunia tak lagi hanya hadir sebagai bayang, melainkan mulai ditata, diikat dalam bahasa, dalam makna. Dan di sinilah Wilhelm von Humboldt mulai bicara, bukan dari podium, melainkan dari kedalaman filsafat yang muram dan bening. Bahwa pendidikan adalah proses di mana manusia membentuk dan dibentuk oleh dunia, melalui bahasa.

Saya teringat suatu pagi yang hening, ketika seorang tua menatap halaman-halaman sebuah buku seperti menatap cermin yang tak memantulkan wajah, tetapi jiwa. Mungkin ia sedang membaca Humboldt. Atau mungkin ia sedang mencari cara untuk tetap menjadi manusia di dunia yang terlalu tergesa menjadikan pendidikan sekadar alat produksi.

Humboldt menyusun visinya tentang pendidikan seperti seorang komponis merangkai simfoni: tidak terburu-buru, tidak demi efek sesaat, tetapi sebagai pencarian akan Bildung — proses pembentukan diri, bukan hanya pengisian kepala. Ia menolak pendidikan yang hanya melatih keterampilan. Ia menolak sekolah yang hanya menghasilkan tenaga kerja. Ia, dalam diam, mempertanyakan: "Untuk apa manusia belajar, jika bukan untuk menjadi lebih manusia?"


Pendidikan, bagi Humboldt, adalah ketegangan antara dua kutub: individu dan dunia. Ia menulis bahwa manusia hanya menjadi manusia sepenuhnya ketika ia berada dalam relasi aktif dengan dunia. Dunia di sini bukan sekadar alam atau masyarakat, melainkan segala yang lain: bahasa, sejarah, kesenian, bahkan penderitaan. Maka belajar bukanlah menguasai, melainkan menjalin hubungan. Seperti mencintai, bukan tentang memiliki, melainkan tentang mengada bersama.

Bayangkan seorang remaja yang membaca puisi Hölderlin di bangku sekolah. Ia tidak sedang mencari nilai ujian. Ia sedang berjumpa dengan gema yang tak ia kenal di dalam dirinya sendiri. Puisi itu, mungkin, membangkitkan pertanyaan, membuka celah, mengguncang kepastian. Di situ terjadi Bildung: pertemuan antara aku dan bukan-aku, antara dalam dan luar, antara bentuk dan isi, yang melampaui tujuan praktis. Inilah inti pendidikan versi Humboldt: bukan untuk berguna, melainkan untuk bermakna.

Namun dunia modern adalah dunia yang lain. Ia lebih menyukai hasil ketimbang proses. Ia mendewakan efisiensi dan lupa bahwa manusia tidak hanya makan dari roti, tetapi juga dari keheningan, dari pertanyaan, dari kegelisahan.

Universitas, dalam kerangka Humboldt, adalah taman kontemplasi. Ia bukan tempat menghafal teori, melainkan ladang penyemaian kebebasan intelektual. Humboldt percaya bahwa pengajaran dan penelitian harus bersatu, bahwa kebebasan akademik adalah jantung universitas. Tapi kini, banyak universitas bertransformasi menjadi pabrik-pabrik: sibuk memenuhi indikator, lupa menggali kedalaman.

Dan di tengah derasnya revolusi digital, ketika algoritma mencoba mengenali kita lebih baik dari diri sendiri, saya bertanya-tanya: apakah masih ada ruang bagi pendidikan seperti yang dibayangkan Humboldt? Pendidikan yang tidak didikte oleh pasar, tapi oleh kerinduan akan pencerahan? Pendidikan yang tidak hanya mendidik pikiran, tapi juga memupuk jiwa?

Saya membayangkan Humboldt duduk di sebuah bangku taman di Berlin, musim gugur akhir abad ke-18. Daun-daun jatuh perlahan seperti jeda dalam kalimat panjang. Ia mungkin berpikir tentang bagaimana manusia tak pernah selesai menjadi dirinya sendiri. Bahwa proses pendidikan bukan garis lurus, melainkan lingkaran tak berujung. Dalam kata-katanya sendiri: “Pendidikan bukan penjumlahan pengetahuan, melainkan pengembangan seluruh potensi manusia.”

Maka pendidikan bukan soal isi, tetapi bentuk. Bukan berapa banyak buku yang dibaca, tetapi bagaimana buku itu mengubah cara kita melihat dunia. Ia bukan menara gading, tetapi jembatan. Rapuh namun perlu. Antara kedirian dan dunia, antara hasrat dan tanggung jawab.

Di sebuah kelas yang sunyi, seorang guru membacakan paragraf dari Humboldt: “Manusia hanya bisa berkembang secara utuh jika ia bebas, dan kebebasannya itu dibimbing oleh kebudayaan yang memperluas cakrawala hidup.” Murid-murid mendengarnya dengan setengah paham, mungkin. Tapi dalam beberapa dari mereka, kata-kata itu mungkin tinggal. Seperti benih yang tertanam diam-diam dan kelak tumbuh di musim yang tepat.

Dan bukankah itulah tujuan pendidikan? Bukan mencetak hasil instan, tapi menanam waktu. Menanam kesadaran bahwa menjadi manusia bukan proyek selesai, melainkan perjalanan yang terus ditulis ulang oleh bahasa, oleh pengalaman, oleh dunia yang tak pernah utuh kita pahami.

Saya menutup tulisan ini dengan sebuah rasa hening. Seperti ruang kosong di antara dua kalimat. Di sanalah mungkin pendidikan bermula. Di ruang di mana kita diam sejenak, tidak untuk melupakan, tetapi untuk mengingat bahwa kita masih belajar. Dan bahwa di balik segala rumus, segala sistem, segala metode, masih ada satu pertanyaan yang tak bisa diselesaikan dengan kurikulum: Bagaimana menjadi manusia sepenuhnya?.


Referensi: Fifty Major Thinkers on Education

Posting Komentar