ZMedia Purwodadi

Dalam Hening Ruang yang Tak Bernama

Daftar Isi

Di suatu sore yang tidak terlalu tua, seorang guru duduk di ruang guru yang berdebu cahaya senja. Tak ada pelatihan, tak ada modul. Tapi ia mendekat ke meja rekan di sebelahnya dan bertanya, “Kamu tahu cara pakai proyektor ini?” Itulah awal dari segalanya. Bukan ceramah panjang tentang pedagogi, bukan pula kurikulum yang dirancang rapi, melainkan sebuah percakapan singkat di tengah hiruk-pikuk kewajiban mengoreksi buku tugas. Sebuah pembelajaran yang diam-diam menyusup, tak diundang, tapi sangat dibutuhkan.

Di antara dinding sekolah yang retak oleh waktu, para guru belajar dengan cara yang sama seperti air menyusup ke celah batu: pelan, tak terlihat, tapi tak bisa dibendung. Bukan di ruang pelatihan yang diselenggarakan dinas, melainkan di lorong sempit antara kelas dan kantin, atau di ruang makan malam bersama keluarga yang kebetulan tahu cara kerja PowerPoint. Inilah wajah belajar yang tak mengenakan seragam resmi.

Paper dari Abedi dan koleganya tentang guru-guru di Ghana mengungkap satu hal sederhana namun tak mudah diterima sistem: bahwa belajar tak harus berlabel. Tak harus diberi sertifikat. Banyak guru belajar dari anak-anak mereka sendiri, dari pencarian di ponsel saat malam mulai larut, atau dari grup WhatsApp yang lebih hidup dari ruang rapat sekolah. Belajar yang tak pernah diumumkan, tapi berdenyut setiap hari.


Ada semacam paradoks yang terkuak: formalitas kerap kehilangan urgensi, sementara informalitas justru menjawab kebutuhan yang paling riil. Di Ghana, dan mungkin juga di negeri-negeri yang berdesakan antara keterbatasan dan harapan, pelatihan resmi seringkali gagal menjawab pertanyaan yang sederhana: “Bagaimana saya bisa mengajar besok dengan teknologi yang saya miliki hari ini?”

Guru-guru itu mencari jawabannya sendiri. Mereka belajar dari sesama guru, mencontek cara temannya menggunakan YouTube di kelas, atau bereksperimen dengan laptop tua yang sering hang. Bagi mereka, teknologi bukan sesuatu yang diimajinasikan oleh para perancang kebijakan, tapi sesuatu yang mesti dijinakkan agar bisa menyala tepat saat mengajar.

Namun, ada yang mengganjal. Belajar semacam ini, meski penuh inisiatif, tetap bergerak dalam kerangka lama. Teknologi dipakai bukan untuk merombak cara berpikir siswa, tetapi untuk mempercantik papan tulis. PowerPoint menggantikan kapur, bukan logika. Video menggantikan cerita, bukan imajinasi. Seolah teknologi hanya alat bantu, bukan sahabat berpikir.

Maka muncul pertanyaan yang lebih dalam: jika guru belajar secara informal demi menguasai teknis, kapan dan di mana mereka akan belajar untuk mengubah cara melihat belajar itu sendiri?

Pendidikan seharusnya tidak hanya tentang transfer informasi, tetapi tentang membangkitkan keberanian untuk mempertanyakan, menafsirkan ulang, dan menciptakan makna. Teknologi bisa menjadi jembatan menuju itu, tapi hanya jika dipandu oleh pemahaman pedagogis yang dalam. Bukan hanya "bagaimana mengoperasikan", tapi "mengapa dan untuk apa digunakan".

Di sinilah keheningan itu terasa berat. Karena dalam diamnya ruang-ruang guru di Ghana, seperti juga di banyak tempat lain, para pendidik bergerak sendirian. Mereka tidak dituntun untuk mengembangkan visi pedagogis yang baru, mereka hanya dibekali alat, bukan arah.

Namun barangkali, justru dari kesendirian itulah muncul semacam kebijaksanaan baru. Seorang guru yang mencoba hal baru di kelas bukan karena disuruh, tapi karena merasa perlu. Seorang guru yang mencari tutorial di YouTube karena ingin membuat anak-anaknya memahami sesuatu dengan lebih hidup. Dalam keheningan yang tak dikenali sistem, muncul suara-suara kecil yang berani menjawab tantangan besar.

Dan mungkin, dari ruang-ruang tanpa nama itulah transformasi sejati akan datang. Bukan dari atas, tapi dari bawah. Bukan dari teori, tapi dari pengalaman. Bukan dari instruksi, tapi dari intuisi.

Karena pendidikan yang hidup tak pernah hanya soal kurikulum. Ia adalah soal keberanian untuk terus belajar, bahkan ketika tak ada yang melihat. Bahkan ketika tak ada yang mengarahkan. Dan di situ, seorang guru bisa menjadi pejuang yang paling sunyi, dan mungkin, paling bijak.


Posting Komentar