ZMedia Purwodadi

Catatan Sepi untuk Herbert Spencer

Table of Contents

Di sebuah pagi yang tak begitu jauh, aku melihat seorang anak berdiri di depan layar gawai, jari-jarinya lincah menari, namun matanya kosong seperti langit di musim kemarau. Barangkali itulah anak zaman ini, yang oleh Herbert Spencer pernah dibayangkan lahir dari rahim zaman industri, suatu dunia yang bergerak, berderak, dan tak punya cukup waktu untuk menoleh ke belakang.

Spencer, filsuf dari Inggris abad ke-19, mungkin tak dikenal karena kelembutan kata-kata atau kerendahan hati pemikirannya. Ia adalah penata sistem, pemahat teori besar, meyakini bahwa pendidikan, seperti organisme hidup, harus tunduk pada hukum evolusi. Ia percaya bahwa pengetahuan harus tumbuh bukan sebagai bunga hias, tapi sebagai alat bertahan hidup. Maka ia bertanya: Apa gunanya belajar sesuatu jika tidak berguna untuk hidup?

Pertanyaan itu tampak kasar, bahkan culas, bila kita membayangkan pendidikan sebagai taman yang ditumbuhi sastra, seni, dan mimpi. Namun dalam dunia Spencer, kehidupan adalah kompetisi, dan belajar adalah latihan bertahan. Bukan untuk menjadi baik, tapi untuk menjadi siap.

Infografis minimalis tentang hierarki pendidikan menurut Herbert Spencer, menekankan pendidikan praktis.

Ia membagi pendidikan dalam hirarki kebutuhan yang serupa dengan tubuh manusia. Pertama, pengetahuan yang membantu kita bertahan hidup, sains tentang tubuh, makanan, kesehatan. Kedua, pengetahuan untuk mencari nafkah, teknik, matematika, ekonomi. Ketiga, pengetahuan untuk menjalankan tugas sebagai warga negara. Dan barulah setelah itu, seni dan hiburan. Bagi Spencer, menyanyikan lagu tak ada artinya bila kita lapar dan sakit.

Ada sesuatu yang menggugah di sana, sekaligus sunyi. Pendidikan menjadi alat, bukan pengalaman. Ia berubah menjadi sekrup di pabrik kehidupan modern. Dalam dunia seperti itu, sekolah tidak lagi rumah untuk mencari makna, tapi bengkel yang memperbaiki manusia agar dapat bekerja.

Tapi apakah hidup hanya tentang bertahan?

Aku teringat pada sebuah fragmen kecil, seorang ayah tua yang membaca puisi kepada anaknya, meski ia tak tahu arti seluruh barisnya. Ia hanya tahu bahwa dalam kata-kata itu ada kehangatan, ada warisan. Sesuatu yang tak bisa diukur oleh logika Spencer, namun justru menjadi alasan kenapa manusia berbeda dari mesin.

Spencer barangkali terlalu percaya pada hukum-hukum besar. Ia mengira bahwa semua bisa dijelaskan oleh seleksi alam dan kebutuhan praktis. Namun anak-anak bukan data statistik. Mereka adalah riak-riak kecil yang bisa berbelok bukan karena dorongan alam, tapi karena sentuhan tangan yang lembut.

Meski begitu, kita tak bisa menolak seluruh tubuh pikirannya. Ia menolak pendidikan klasik yang hanya memuja Latin dan Yunani, yang hanya mengajarkan untuk menjadi “gentleman”. Ia memberontak terhadap sistem pendidikan yang buta terhadap kebutuhan zaman. Ia menghendaki sekolah yang lebih membumi, mengajarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan akhlak praktis. Dalam hal ini, suaranya masih bergema di ruang-ruang kelas yang kini diajari coding dan kewirausahaan sejak dini.

Namun ketika segala hal dijustifikasi karena “berguna”, kita kehilangan sesuatu: kerentanan, keindahan, kepercayaan bahwa tak semua yang berharga harus dapat dijelaskan. Seperti daun yang jatuh tanpa alasan. Seperti kata yang diucapkan tanpa maksud.

Maka, bila Spencer datang ke kelas hari ini dan melihat anak-anak yang belajar robotika, ekonomi digital, dan kecerdasan buatan, ia mungkin akan tersenyum. “Inilah dunia yang kutunggu,” barangkali ia berkata. Tapi saat bel berbunyi dan anak-anak itu berjalan pulang tanpa sempat bertanya pada dirinya sendiri kenapa ia belajar semua itu, Spencer akan pergi dengan diam.

Sebab ia tahu, yang hilang bukan kemampuan bertahan hidup, tapi kemampuan bertanya, dan merenung.

Dan barangkali pendidikan yang terlalu mengikuti arus zaman, akan kehilangan waktu untuk berhenti.


Posting Komentar